Berpulangnya Garda Terakhir Pelaku Operasi Seroja: In Memoriam Jenderal Djoko Santoso
Berita kompas tv | 10 Mei 2020, 12:55 WIBOleh Aris Santoso, pengamat militer
Saya sudah mengamati figur-figur TNI sejak tahun 1980-an akhir. Pengamatan saat itu hanya berdasar informasi dari media cetak dan media televisi, pada suatu masa ketika media daring belum lagi dikenal. Salah satu perwira yang saya amati dengan cukup baik adalah Jenderal Djoko Santoso (Akmil 1975), yang baru saja dikabarkan meninggal pagi ini, Minggu 10 Mei 2020.
Karena hanya mengamati dari media, tentu tidak semua perwira dimaksud pernah saya lihat secara langsung, termasuk Jenderal Djoko Santoso. Pertemuan dengan beliau terhitung sangat terlambat, ketika beliau sudah melepas seragam selaku jenderal penuh.
Baca Juga: Selamat Jalan, Mantan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso...
Pertemuan itu terjadi Januari lalu, pada acara mengenang Peristiwa Malari 1974, di sebuah gedung di kawasan Kuningan, Jakarta Pusat. Pada peringatan Malari tahun sebelumnya di TIM (2019), Djoko Santoso juga tampak hadir.
Pada dua peristiwa itulah, saya melihat sosok beliau secara langsung. Dua peristiwa tersebut bisa bermakna simbolik bagi Djoko Santoso (selanjutnya DS), dan itu juga bisa dilihat pada kondisi fisiknya. Pada peringatan Malari tahun 2019 di TIM, DS masih tampak gagah dan masih banyak orang yang menyambanginya. Tentu hal itu tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, pada Januari 2019, situasi politik Jakarta sangat panas, sehubungan kampanye menjelang Pilpres tahun itu.
Posisi DS sebagai “panglima” tim sukses pasangan Prabowo-Sandiaga Uno, tentu menarik perhatian publik dan jurnalis. Dan lagi andrenalin DS sebagai mantan komandan pasukan sedikit naik, ketika diposisikan memimpin tim sukses pasangan tersebut.
Keadaan yang sedikit berbeda saat DS hadir pada acara Malari, Januari kemarin. Tak ada lagi orang yang mengelu-elukannya, atau jurnalis yang menguber-uber dirinya. Dalam waktu setahun semua telah berubah.
Baca Juga: Mantan Panglima TNI Djoko Santoso, Tentara Kelima yang Jadi Ketum PBSI
Saat itu DS hanya duduk santai dengan para purnawirawan dan beberapa tokoh sepuh lainnya, yang mungkin bagi generasi milenial, mereka ini sudah tidak dikenal lagi. Saya sempat menatap dari kejauhan, ya benar, kondisi fisik (termasuk air mukanya) tidak sebugar setahun sebelumnya. Begitulah waktu bisa menggerus semuanya, jabatan dan nama besar adalah sesuatu yang fana.
Saya pertama kali menemukan nama Djoko Santoso pada 1980-an akhir, saat ia menjadi Komandan Bataliyon (Danyon) 330 Linud Kostrad, yang bermarkas di Cacalengka, sedikit di luar Kota Bandung. Yonif 330 adalah bagian dari Brigif Linud 17/Kujang I Kostrad (Cijantung, Jakarta Timur). Tiga bataliyon yang berada di bawah Brigif 17, seluruhnya adalah satuan legendaries: Yonif 305 (Karawang), Yonif 328 (Cilodong, Bogor), dan Yonif 330.
Pada saat DS menjadi Danyon 330, hampir bersamaan waktunya dengan Prabowo saat menjabat Danyon 328 dan Ryamizard sebagai Danyon 305. Saat Prabowo digeser sebagai Kasbrigif Linud 17, DS masih menjabat Danyon 330. Demikian juga ketika SBY menjadi Komandan Brigade 17, SBY masih sempat bertemu DS. Konfigurasi seperti ini, kiranya bisa menjelaskan bagaimana posisi “politik” Djoko di kemudian hari, yang seolah memperoleh kemudahan dalam karier saat SBY menjadi Presiden (2004-2014). Dan berlanjut menjadi pimpinan tim sukses Prabowo dalam Pilpres 2019.
Baca Juga: Profil Djoko Santoso, Mantan Panglima TNI Asal Solo dengan Sederet Penghargaan
Brigif 17 beserta satuan di bawahnya adalah satuan legendaris, yang sudah diterjunkan sejak hari-hari pertama Operasi Seroja pada akhir 1975 sampai beberapa tahun kemudian. DS sebagai lulusan Akmil 1975, seolah merupakan generasi yang disiapkan untuk terlibat dalam Operasi Seroja. Bagi banyak perwira, kebersamaan dalam operasi tempur memiliki nilai sendiri, yang jejaknya masih terasa hingga bertahun-tahun kemudian.
Terlebih pada satuan terkenal seperti Brigif 17, yang di antara anggotanya, baik yang masih aktif atau yang sudah pindah satuan, memiliki ikatan emosional yang kuat. Sehingga tidak terlalu mengherankan bila kemudian DS diberi ruang yang begitu luas saat SBY menjadi presiden, dan kemudian mendampingi Prabowo, yang semuanya adalah bagian dari keluarga besar Brigade 17 Kostrad.
DS adalah lulusan Akmil 1975, bersama nama-nama besar lain dari generasi ini, seperti Syaiful Rizal (lulusan terbaik), Erwin Sujono, Zamroni, Amirul Isnaeni, Tono Suratman, Rasjid Qurnain, dan seterusnya. Namun semua sudah mahfum, jabatan jenderal adalah posisi politis, tidak semata-mata prestasi dan kinerja. Dalam komunitas perwira, ada istilah “garis tangan” dalam karier, artinya ada unsur nasib baik. Kira-kira begitu pulalah yang terjadi pada DS.
Baca Juga: Djoko Santoso, dari Panglima TNI Hingga Dewan Pembina Gerindra
Sejak masih di Brigade 17, DS sudah dikenal dekat dengan SBY. Tidak berlebihan kiranya bila DS dianggap sebagai alter ego dari SBY. Karier keduanya seolah selalu beriringan, ketika SBY menjadi Danrem Yogya, DS kemudian juga menjadi Danrem di kota gudeg tersebut. Kemudian ketika SBY menjadi Kasdam Jaya, salah satu asistennya adalah DS (Aster Kodam Jaya).
DS tentu tidak akan melupakan sentuhan SBY, ketika dia ditarik sebagai Waassospol Kassospol ABRI, ketika SBY menjadi Kassospol ABRI. Dalam posisi ini DS menyandang pangkat bintang satu, sebagai lulusan Akmil 1975 yang masuk level pati. Menjadi brigjen adalah impian semua perwira lulusan Akmil, terlebih dalam situasi seperti, dimana sempat terjadi surplus kolonel.
Setelah menyangdang pangkat brigjen, karier DS seolah tak terbendung lagi, hingga menapaki jabatan KSAD (2005-2007) dan Panglima TNI (2007-2010). Kini semuanya telah menjadi sejarah.
Baca Juga: Rekam Jejak Djoko Santoso, Mantan Panglima TNI hingga Ketua Timses Prabowo-Sandi
Penulis : Zaki-Amrullah
Sumber : Kompas TV