> >

Calon Tunggal Meningkat di Pilkada 2024, Akademisi: Pekerjaan Rumah Bagi Partai Politik

Politik | 5 Maret 2025, 12:38 WIB
Calon Tunggal Meningkat di Pilkada 2024 Akademisi Pekerjaan Rumah Bagi Partai Politik
Warga menggunakan hak suaranya di TPS 046, Cipete Selatan, Jakarta Selatan, Rabu (27/11/2024). Pilkada 2024 dilakukan secara serentak di seluruh wilayah di Indonesia hari ini. (Sumber: Kompas/Fakhri Fadlurrohman)

JAKARTA, KOMPAS TV – Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Mudiyati Rahmatunnisa menyoroti meningkatnya jumlah calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2024.

Menurutnya, fenomena ini mencerminkan permasalahan mendasar dalam sistem demokrasi Indonesia.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi II DPR RI, Rabu (5/3/2025), Mudiyati menyebut terdapat 37 pasangan calon tunggal yang akan berlaga di Pilkada 2024.

Baca Juga: Bawaslu Minta Dukungan Anggaran Pemerintah Pusat untuk Awasi PSU Pilkada 2024 di 24 Daerah

"Fenomena ini mengindikasikan kegagalan partai politik dalam mengusung kadernya. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik agar lebih aktif dalam kaderisasi," ujar Mudiyati, Rabu.

Mudiyati menilai meningkatnya jumlah calon tunggal menunjukkan penurunan kualitas demokrasi. Sebab, pesta demokrasi itu seharusnya menjadi ajang kompetisi yang memberikan pilihan bagi rakyat, bukan sekadar memilih antara calon tunggal atau kotak kosong.

"Esensi dari kompetisi politik menjadi hilang. Masyarakat hanya diberi pilihan ‘setuju’ atau ‘tidak setuju’ melalui kotak kosong. Ini adalah sisi gelap demokrasi, meskipun secara hukum tetap sah," katanya.

Selain itu, calon tunggal juga berdampak pada berkurangnya akuntabilitas pemerintah daerah. Tanpa adanya pesaing yang kuat, calon tunggal tidak memiliki insentif untuk menawarkan program yang lebih baik kepada masyarakat.

"Minimnya persaingan berimplikasi pada rendahnya akuntabilitas. Tanpa lawan yang kompetitif, calon tunggal tidak terdorong untuk menghadirkan program-program inovatif," katanya.

Mudiyati menambahkan, maraknya calon tunggal berpotensi memperkuat politik transaksional. Banyak partai politik lebih memilih mendukung calon kuat daripada mengusung kadernya sendiri, yang akhirnya dapat merugikan demokrasi.

"Partai politik lebih memilih bergabung dengan calon yang kuat ketimbang mengusung kadernya sendiri. Ini membuka peluang politik transaksional yang bisa berdampak negatif pada tata kelola pemerintahan," katanya.

Penulis : Fadel Prayoga Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU