> >

Cerita Pak Harto Dijodohkan dengan Bu Tien dalam Suasana Perang

Humaniora | 25 November 2024, 14:46 WIB
Pak Harto dan keluarga (Sumber: soehartolibrary.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden ke-2 Soeharto punya cerita saat masih muda. Rupanya pernikahannya dengan sang istri, Hartinah, yang kemudian lebih sering disebut Bu Tien, tidak datang begitu saja namun lewat perjodohan.

Bahkan, perjodohan itu terjadi dalam suasana darurat perang. Pada tahun 1947, perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda sedang berlangsung, setelah Dewan Keamanan PBB menengahi persoalan Indonesia. 

Terdengar bahwa perundingan yang dilaksanakan di atas kapal Amerika “Renville” yang telah berlabuh permulaan Desember di Tanjung Priok itu punya kisah bagi Pak Harto. 

Dikutip dari laman soehartolibrary, yang berisi kisah hidup dan pidato-pidatonya, mulanya keluarga pamannya, Prawirowihardjo yang tinggal di Wuryantoro, datang ke daerah di sekitar tempat Soeharto tinggal.

"Maka saya menemui mereka. Percakapan kami pada mulanya menyangkut hal-hal yang biasa saja. Tetapi tidak lama setelah itu muncul pertanyaan yang tidak saya sangka. Ibu Prawiro bertanya soal hari depan saya. Diingatkannya bahwa saya sudah berusia 26 tahun. Dan hal ini menjadi pikirannya. Sebab di kampung kita, orang seusia itu mestinya sudah berumah tangga," kata presidan yang berkuasa selama 32 tahun itu.

Mula-mula Soeharto tidak menganggap serius soal ini. Sebab saat itu sedang sibuk di Resimen dan perjuangan belum selesai. Kekacauan masih mengancam. Belanda masih belum mau angkat kaki dari negeri kita. Tetapi Ibu Prawiro menekankan bahwa perkawinan tidak perlu terhalang oleh perjuangan. Membentuk keluarga adalah penting, katanya. 

Baca Juga: Mengapa Pak Harto Tidak Menyiapkan Putra Mahkota? Sejumlah Menteri Orde Baru Membeberkan Alasannya

“Tetapi siapa pasangan saya?” Saya balik bertanya kepada mereka. Saya tidak punya calon. “Percayakan soal itu kepada kami,” kata Bu Prawiro. “Kamu masih ingat kepada Siti Hartinah, teman sekelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?” tanya Ibu Prawiro. Saya mengangguk, mengiyakan. Saya ingat. “Tetapi bagaimana bisa?” pikir saya.

“Apa dia akan mau?” tanya saya. “Apa orang tuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran.” Bu Prawiro kelihatannya seperti tidak menganggap hal itu sebagai persoalan. Mungkin dirasakannya zaman sudah berubah. “Saya kenal dengan orang yang dekat dengan mereka,” kata Bu Prawiro. “Saya akan minta dia menanyakan, apa mereka dapat menerima kedatanganku. Saya tahu cara-caranya. Saya tahu adat kebiasaan di situ, ” katanya.

Soeharto tidak mau mengecewakan Bu Prawiro. Dan dia  ingat, apa yang dikemukakan Ibu Prawiro itu benar. Dia pun  tergugah, memang benar, mesti membentuk keluarga sebagai kewajiban agama, untuk melanjutkan keturunan dan hanya melewati pernikahan. 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU