> >

Jelang Pilkada, AJI dan MDDRH Sebut Ujaran Kebencian Marak Bermunculan di TikTok dan X

Politik | 4 November 2024, 16:05 WIB
Ilustrasi ujaran kebencian. Menjelang digelarnya pilkada di beberapa daerah, ujaran kebencian terpantau marak di platfor Tiktok dan Twitter (X). (Sumber: Wikimedia commons)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pada masa kampanye Pilkada 2024, ujaran kebencian kepada kelompok minoritas mulai terlihat bermunculan di platform TikTok. Hasil pemantauan video terkait Pilkada di platform TikTok di lima provinsi menunjukkan bahwa 18,15% sampel video yang terkumpul, baik konten ataupun komentarnya mengandung ujaran kebencian. 

Dalam pemantauan yang dilakukan atas kerjasama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Monash Data & Democracy Research Hub (MDDRH), menunjukkan bahwa ujaran kebencian tentang Pilkada yang terbanyak adalah tentang Pilkada Jawa Barat (204), diikuti Maluku Utara (159), Aceh (98), Nusa Tenggara Barat (80), dan Sumatera Barat (14).

“Target ujaran kebencian berbeda-beda di setiap provinsi. Di Aceh, kami menemukan ujaran kebencian kepada pengungsi Rohingya. Sejauh ini belum ada video yang spesifik menyerang Rohingya, tapi komentar-komentar sudah bermunculan di video-video kandidat. Sudah ada tuduhan bahwa kandidat tertentu malah membawa Rohingnya yang serupa dengan kotoran manusia, ke Aceh,” ujar co-director MDDRH Ika Idris dalam siaran pers yang diterima Kompas.tv, Senin (4/11/2024).

Baca Juga: Bawaslu Akan Tindak Tegas Ujaran Kebencian di Medsos saat Pilkada Serentak 2024

Sementara itu di Maluku Utara, sasaran ujaran kebencian adalah investasi asing asal China, yang merupakan negara tujuan ekspor nikel terbesar dari provinsi ini.

Selain itu, ujaran kebencian berkaitan dengan agama, baik Islam ataupun Kristen dan Katolik muncul di beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Maluku Utara, dan Aceh. Di Jawa Barat, sentimen keagamaan masih dikaitkan dengan narasi-narasi di pilpres, utamanya ke para pendukung Anies Baswedan yang juga disebut dengan “anak abah”.

Narasi di pilpres, tetap kental terasa di Pilkada Jawa Barat, apalagi karena PKS, sebagai partai yang mendominasi di Jawa Barat menarik dukungan ke Anies dan merapat ke Koalisi Indonesia Maju plus.

“Jawa Barat ini kental sekali ujaran kebencian kepada Islam ataupun kelompok Islam. Narasi ini awet dari pilpres 2019 hingga sekarang karena memang sempat ada wacana Anies maju di Jabar dan ada juga kekesalan terhadap PKS yang batal dukung Anies. Jadi ujaran kebencian terkait isu agama di Jawa Barat ini memang kental sekali,” ujar Ika.

Di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), ujaran kebencian yang terpantau terbagi menjadi dua narasi. Pertama adalah narasi kebencian terhadap persekongkolan koalisi politik antara dua mantan gubernur NTB yaitu Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi dan Dr. Zulkieflimansyah. Sedangkan narasi lain adalah kebencian terhadap calon gubernur perempuan Sitti Rohmi Djalilah, yang juga merupakan kakak kandung dari TGB.

“Di beberapa video terkait Pilkada NTB, kami menemukan komentar-komentar yang menyudutkan perempuan yang tidak pantas menjadi pemimpin. Kami juga menemukan narasi yang sama, serangan terhadap gender calon di Sumatera Barat, tepatnya di Kabupaten Dharmasraya. Di sini paslon Bupati dan Wakil Bupati keduanya Perempuan yang diusung 10 partai politik, sehingga akan melawan kotak kosong. Ujaran kebencian sebenarnya tidak semuanya menyerang gender, tapi ada juga yang menyerang proses pencalonan keduanya yang merupakan hasil dari politik dinasti. Jadi seruan-seruannya banyak sekali untuk melawan kotak kosong daripada pemimpin perempuan yang juga hasil politik dinasti,” tutur Ika.

Baca Juga: PDIP Cabut Laporan Rocky Gerung soal Penyebaran Ujaran Kebencian ke Jokowi

"Tingginya ujaran kebencian yang selalu muncul di pemilu, harus diikuti dengan langkah  moderasi konten dari platform digital. Kita tidak bisa mengandalkan literasi digital saja, tapi platform digital dapat mencegah konten ujaran kebencian,” ujar Bayu Wardhana, Sekretaris Jenderal AJI Indonesia.   

Pemantauan Ujaran Kebencian

Selama pelaksanaan Pilkada 2024, AJI dan MDDRH akan memantau ujaran kebencian di TikTok dan X. Dengan menggunakan kata kunci sebanyak 441 kata, hasil pemantaun selama Agustus-September telah mengumpulkan sebanyak 4,712 video TikTok dan 32,168 komentar TikTok.

Dari jumlah tersebut, sejauh ini diambil sampel sebanyak 2,512 data, dimana sebanyak 456 data mengandung ujaran kebencian. Kata kunci yang digunakan untuk mengambil data telah disesuaikan dengan konteks lokal di setiap provinsi.

“Ini bahkan masih dua bulan pertama, belum masuk ke Oktober. API research TikTok hanya tersedia untuk peneliti di Amerika Utara dan Eropa, sehingga kami perlu memanfaatkan akses dari kolaborator kami di universitas-universitas di Amerika.

Indonesia adalah negara pengguna terbesar TikTok di dunia, yang kedua baru Amerika, tapi sayangnya justru kita tidak dibukakan akses. Ini tentu memperlambat upaya kami,” terang Associate Professor Data Science Derry Wijaya, yang juga memimpin tim data scientist memantau ujaran kebencian kali ini.

 

Penulis : Tussie Ayu Editor : Gading-Persada

Sumber : Monash Data & Democracy Research Hub


TERBARU