Penjajahan dan Penjarahan (II): Geger Sepehi dan Perampokan Istana Yogyakarta Empat Hari Empat Malam
Humaniora | 4 Mei 2024, 05:30 WIB
JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketika bercokol di tanah air, para penjajah mengambil harta benda yang ada di istana-istana di Nusantara dengan cara tidak pantas. Salah satu yang tercatat dalam sejarah, apa yang dikenal dengan sebutan Geger Sepehi.
Geger Sepoy atau Geger Sepehi merupakan penyerbuan pasukan Inggris terhadap Keraton Yogyakarta pada 19-20 Juni 1812.
Setelah keraton jatuh, diteruskan dengan penjarahan harta keraton selama empat hari, empat malam.
Nama Sepoy merujuk pada pasukan Inggris yang isinya orang-orang India. Oleh orang Jawa kala itu, Sepoy disebut "Sepehi".
Peristiwa berawal ketika pada tahun 1811 Inggris mulai menancapkan kekuasaannya di Pulau Jawa dan berkeinginan menguasainya.
Ambisi penguasaan itu dipimpin oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.
Baca Juga: Penjarahan di Kherson Meningkat, Pelakunya Disebut Tentara Rusia yang Kabur
Langkah pertama yang dilakukan untuk menguasai Jawa bagian tengah adalah dengan menguasai Keraton Yogyakarta.
Setelah diplomasi terakhir gagal, genderang perang ditabuh. Mula-mula, meriam pasukan Inggris menyerang di malam hari.
Selama dua hari, peperangan terjadi di luar Benteng Baluwerti keraton. Terjadi juga saling tembak meriam dan artileri lainnya.
Kemudian pada subuh dini hari 20 Juni 1812, pasukan Keraton Yogya mulai terdesak dan akhirnya tak berdaya melawan 1.200 pasukan Sepoy yang bertempur tak kenal henti dari malam hingga dini hari.
Setelah keraton jatuh, upaya penjarahan pun dilakukan. Bahkan, sebelum penjarahan dilakukan, para penguasa keraton dan keluarganya diperlakukan secara hina.
Mereka digiring ke kediaman Residen di antara barisan tentara Sepoy dan Skotlandia dengan pedang terhunus dan sangkur terpasang.
Sejarawan dari Universitas Oxford yang ahli dalam masalah Diponegero, Peter Carey, dalam bukunya Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 yang diterbitkan oleh KOMPAS (2014), menuliskan peristiwa ini secara detail.
"Menurut Babad Jatuhnya Yogyakarta, bala tentara Inggris dan Sepoy terlalu kasar dalam melaksanakan tugas mereka. Para pangeran dan pejabat-pejabat senior keraton dipaksa untuk menyerahkan keris mereka yang dihiasi batu-batu permata," tulis Carey.
Bukan hanya itu, Keputren dan istana juga digeledah untuk dijarah perhiasannya. Semua harta keraton dikuras habis nyaris tak bersisa.
Dalam catatan Carey disebutkan, pasukan Inggris menguras antara lain berset-set perangkat wayang kulit, alat musik gamelan keraton, uang sekitar 800 ribu dolar Spanyol setara 50 juta dolar AS sekarang.
Ribuan naskah kuno keraton dengan hiasan indah, serta tentu saja keris dan berbagai perhiasan milik para putri keraton juga turut dirampas.
Baca Juga: Khatib Salat Iduladha di Istana Yogyakarta Ungkap Kisah Ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail
Bahkan ketika sultan dan para pangeran tidur di tahanan, kancing-kancing berlian yang menempel di jaket para pembesar keraton itu dicopoti dengan kasar.
"Penjarahan habis-habisan atas Keraton Yogyakarta berlangsung empat hari penuh. Babad menggambarkan adanya arus barang-barang jarahan yang tiada henti diangkut ke kediaman Residen dengan pedati dan kuli-kuli panggul," tulis Carey.
Namun dari semua barang, hanya disisakan satu saja yang tidak diangkut, yaitu Al-Qur'an dengan hiasan kaligrafi indah.
Alasannya, Raffles menganggap itu bukan bagian dari budaya Hindu-Buddha.
Penjarahan ini juga membuat pasukan Inggris kaya raya. Dari hasil uang jarahan, komandan pasukan Gillespie mengantongi 4,75 juta dolar AS, dan sisanya untuk opsir-opsir dan bala tentara.
Separuhnya lagi dikirim ke Bengali, sehingga anggota pasukannya dapat mengirim wesel untuk keluarga-keluarga mereka di India.
Dalam situs Dinas Kebudayaan Yogyakarta disebutkan, seluruh naskah sejarah yang ada di keraton habis diboyong oleh Raffles. Kebanyakan dibawa ke Inggris dan sekarang disimpan di Bristish Library.
"Padahal di dalam naskah tersebut banyak menceritakan sejarah panjang masyarakat Jawa yang kental akan berbagai macam bentuk filosofi," tulis Carey.
Penjarahan ini menjadi babak awal jatuhnya Keraton Yogyakarta ke tangan bangsa Barat. Dan peristiwa ini pula yang ikut mendorong lahirnya Perang Jawa (1825-1830) di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV