> >

Kisah Kesehatan di Awal Kemerdekaan (I): Antara Pertikaian Politik dan Merebaknya Sifilis

Humaniora | 20 April 2024, 05:00 WIB
Para petugas kesehatan sedang melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pasien 1953. (Sumber: Buku Memelihara Kesehatan Jiwa, Vivek Neelakantan)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Di awal kemerdekaan Indonesia, kondisi kesehatan di tanah air morat-marit. Di tengah euforia terbebas dari penjajahan, ternyata bangsa ini menyimpan segudang urusan penyakit yang sangat membebani.

Ekonomi belum stabil dan kehidupan sosial yang amburadul membuat urusan kesehatan masyarakat terabaikan. Salah satu penyakit yang tiba-tiba melonjak adalah penyakit kelamin, sifilis. 

Memburuknya kondisi sosial ekonomi ini terlihat dari peningkatan penyakit kelamin sifilis yang banyak melanda anak muda hingga ibu-ibu di awal kemerdekaan setelah revolusi fisik.

Baca Juga: Buruan Daftar, BPJS Kesehatan Masih Buka Lowongan Kerja 2024 untuk Lulusan D3 Semua Jurusan

Para sejarawan mencatat bahwa periode tahun 1950-an adalah saksi meningkatnya ketegangan antara partai-partai politik, munculnya pertikaian politik dan maraknya korupsi sebagai salah satu yang membuat kehidupan masyarakat amburadul.

Ketidakstabilan pemerintahan yang berdampak pada tidak diperhatikannya kesejahteraan rakyat.

"Tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia ditandai oleh rasa krisis permanen yang disebabkan oleh ketidakstabilan politik," tulis Viviek Neelakantan dalam buku "Memelihara Jiwa-Raga Bangsa" (penerbit Kompas).

Tercatat pada tahun 1952, Menteri Kesehatan pada Kabinet Abdul Halim (Januari-September), Soetopo, melakukan penelitian penyakit kelamin yang tiba-tiba melonjak.

Dalam paparannya pada Hari Kesehatan Dunia 7 April 1953, Soetopo menjelaskan, setelah Revolusi Nasional Indonesia, norma-norma sosial ambruk.

"Para pemuda masa itu menuntut kebebasan tanpa batas, khususnya sehubungan dengan melonggarnya adat istiadat seksual," kata dia.

Soetopo menjelaskan, prostitusi berkontribusi pada penyebaran penyakit kotor itu.

"Di dalam menghadapi perobahan-perobahan yang datangnya kadang-kadang secepat kilat, pada umumnya kaum muda itu-karena mudanya-belum mempunyai persiapan yang cukup dan belum mempunyai pegangan hidup yang dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk menempatkan dirinya dalam masyarakat," kata Soetopo yang juga pendiri The Venereal Disease Institute (Lembaga Penyakit Kelamin) di Surabaya, Jawa Timur.

Baca Juga: Masih Dibuka, Lowongan Kerja BPJS Kesehatan 2024 untuk Minimal D3 Semua Jurusan

Bahkan, penyakit kelamin itu sudah menyebar pada anak-anak usia 14 tahun. Soetopo menyebut persebaran penyakit sifilis kala itu sebagai "krisis moral". Namun dia berpendapat, hal itu bukan semata kesalahan anak-anak muda.

"Seringkali mereka juga tidak mendapat pimpinan yang semestinya, pengaruh dari keadaan sekelilingnya.."  

Dia berpendapat sifilis adalah indikator masalah sosial ekonomi yang lebih besar seperti ketidakamanan ekonomi, kurangnya perumahan yang layak, rekreasi yang tidak sehat, perawatan medis tidak memadai, keluarga berantakan dan dukungan sosial yang tidak mencukupi.

Karena itu, dia menganjurkan untuk mengatasi penyebab sosial yang mendorong penyebaran penyakit kelamin ini.

Walaupun saat itu sudah ada obatnya yaitu arsenicals dan penisilin, namun cenderung sulit didapatkan karena stigma sosial.

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU