Di Sidang MK, Ahli dari KPU Jelaskan 3 Penyebab Perbedaan Angka di Form C1 dan Sirekap
Hukum | 3 April 2024, 09:39 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Prof Marsudi Wahyu Kisworo, ahli yang dihadirkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (3/4/2024), menjelaskan 3 penyebab terjadinya perbedaan angka hasil penghitungan suara di formulir C1 dan aplikasi Sirekap.
Menurutnya, sejak tahun 2004, sistem penghitungan suara digital selalu dipermasalahkan. Padahal penghitungan suara resmi KPU menggunakan penghitungan suara berjenjang.
“Seandainya Sirekap itu tidak ada pun sebetulnya tidak ada pengaruhnya terhadap penghitungan suara,” jelas Marsudi.
“Sirekap itu sarana untuk publikasi hasil penghitungan suara dan proses penghitungan suara, jadi publikasi untuk kedua ini, tapi juga alat bantu untuk rekapitulasi.”
Baca Juga: Diminta jadi Saksi Sengketa Pilpres, Kapolri: Kami Taat Konstitusi, Kalau Diundang MK Kita Hadir
Ia menjelaskan, Sirekap terdiri dari dua aplikasi yakni Sirekap Mobile yang terinstal di ponsel Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Sirekap Web.
Data yang diinput oleh petugas melalui Sirekap Mobile, kata dia, kemudian masuk ke Sirekap Web, lalu direkapitulasi dan ditampilkan di web.
“Artinya apa? Jadi sebetulnya flow-nya adalah data itu masuk dari Sirekap Mobile, kemudian Sirekap Web itu tugasnya lebih kepada untuk melakukan konsolidasi rekapitulasi dan melakukan virtualisasi atau mengekspor ke web,” terang Marsudi.
“Problem pertama dari Sirekap Mobile, dia mengambil data dari form C1 hasil yang isinya dibuat dengan tulisan tangan, menggunakan teknologi yang namanya optical character recognition atau OCR,” tuturnya.
Tulisan yang ada pada form C1, kata dia, dipindai (scan), kemudian difoto (capture), lalu diubah menjadi angka.
Dalam proses inilah, menurut Marsudi, problem pertama muncul karena tulisan yang ada di form C1 berbentuk tulisan tangan.
Baca Juga: Kala Hotman Tak Terima Presiden Jokowi Disebut Pencuri Bansos menurut Pendapat Ahli Romo Magnis
“Kita tahu tulisan tangan masing-masing orang berbeda-beda apalagi tulisan tangan di 828 ribu TPS yang pasti orangnya berbeda dan tulisan tangannya bisa berbeda.”
“Ada mungkin KPPS yang mengisi ini tulisannya bagus, mudah dibaca, tapi mungkin juga ada yang tulisannya kurang bagus atau bahkan jelek,” tambahnya.
Ia kemudian mencontohkan melalui slide yang ditampilkan di persidangan.
“Sebagai contoh kita lihat di sini, penulisan angka saja itu style-nya bisa berbeda-beda. Ada menuliskan angka 4 kayak kursi terbalik, atasnya terbuka tapi ada yang menulisnya atasnya tertutup.”
“OCR itu kalau di laboratorium itu akurasinya masih 99 persen, jadi masih ada kemungkinan eror 1 persen,” tambahnya.
Bahkan ketika digunakan di lapangan, lanjut dia, akurasinya menjadi lebih rendah, yakni hanya di kisaran 92 hingga 93 persen.
“Jadi ada kemungkinan 7 persen salah ketika OCR mengubah gambar menjadi angka.”
Baca Juga: 4 Menteri Jokowi Dipanggil Hakim MK: 2 Menteri Siap, sisanya Belum Putuskan
Kedua, dia menyoroti ponsel yang digunakan petugas KPPS.
“Sirekap Mobile itu diinstal di masing-masing handphone KPPS, maka yang terjadi kita tahu bahwa handphone itu beda-beda kualitasnya. Ada HP yang kualitas kameranya sangat bagus dan ada yang sangat kurang bagus, resolusinya juga beda-beda,” beber Marsudi.
Oleh sebab itu, kata dia, kualitas gambar yang dihasilkan pun berbeda, ada yang jelas, ada yang buram, ada yang remang-remang, ada yang kuning.
“Problem ketiga adalah dari kertasnya sendiri. Contohnya, kertas terlipat. Ini bisa menimbulkan kesalahan interprestasi oleh OCR ini.”
“Jadi tiga masalah ini yang menjadi sumber yang bisa menjelaskan kenapa ketika ditampilkan di web, angka dengan C1 bisa berbeda,” tuturnya.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV