> >

Pakar HTN: Wewenang Mahkamah Konstitusi Putus Perselisihan Suara, Bukan Penyaluran Bansos

Hukum | 1 April 2024, 05:00 WIB
Presiden Jokowi dan Dirut Bulog Budi Waseso saat meninjau beras untuk bansos beberapa waktu lalu. Pakar hukum tata negara, Abdul Chair Ramadhan menyampaikan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sehubungan perselisihan hasil pemilu (PHPU) sebatas memutus perselisihan terkait suara. Abdul menyebut tidak tepat jika MK diminta memutus soal bansos. (Sumber: Setneg.go.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar hukum tata negara, Abdul Chair Ramadhan, menyampaikan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sehubungan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) sebatas memutus perselisihan terkait suara. Abdul menyebut tidak tepat jika MK diminta memutus soal bansos.

Penyaluran bansos sendiri diidentikkan dengan dukungan pemerintahan Joko Widodo untuk Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Dua penggugat PHPU, tim Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama menyinggung dugaan penggunaan bansos untuk memenangkan paslon tersebut.

"MK terikat dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tepatnya pada Pasal 457 Ayat (2) yang menyatakan bahwa MK berwenang memutuskan perkara perselisihan suara," kata Abdul Chair dalam keterangan tertulis pada Minggu (31/3/2024).

Baca Juga: Ketua MK Sebut Tim Hukum Ketiga Paslon Tidak Boleh Bertanya Saat Menteri Hadir di Sidang PHPU

Abdul menilai tuduhan penyelewengan bansos seharusnya dibawa ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Sebab, persoalan itu telah termuat dalam pasal 460 juncto 463 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mengatur kompetensi yang dimiliki oleh Bawaslu, kemudian juga peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2022 tepatnya di Pasal 12 yang telah menentukan kewenangan Bawaslu.

“Maka dengan itu dugaannya adalah termasuk atau tergolong pelanggaran administrasi pemilu yang dilakukan secara terstruktur sistematis dan masif (TSM) menjadi ranah domain Bawaslu, bukan domain kewenangan MK. Itu jelas ketentuannya,” katanya dikutip Antara.

Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia itu pun menilai pembagian bansos oleh pemerintahan Jokowi sudah sesuai mekanisme dan tidak terkait dengan Pemilu 2024.

Abdul menyebut tim Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud "Salah kamar" dalam gugatan PHPU. Menurutnya, MK tidak berwenang mengadili pelanggaran administratif pemilu, utamanya secara terstruktur, sistematis, masif (TSM) yang notabene pendekatannya adalah kualitatif.

“Dengan demikian tidak ada peluang untuk memperluas atau menafsirkan lain kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal penghitungan suara. Secara argumentum a contrario atau dalam ilmu fikih disebut mafhum mukhlafah, maka selain penghitungan suara adalah bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi,” kata Abdul.

“Keadilan itu adalah dilakukan secara proporsional, menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Menempatkan perselisihan terhadap pelanggaran administrasi pemilu secara TSM kepada Mahkamah Konstitusi bukan pada tempatnya, itu tempatnya Bawaslu untuk memeriksa, memutus. Adapun menempatkan hanya terhadap penghitungan suara calon presiden dan wakil presiden, itu hanya kewenangan Mahkamah Konstitusi."

Sebelumnya, tim Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud mengusulkan agar para menteri Jokowi dipanggil ke persidangan terkait bansos. Para menteri itu adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sosial Tri Rismaharini, dan Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.

Alasannya, penggugat ingin mengetahui sejauh mana politik anggaran dan kebijakan fiskal terkait dalam pemberian bansos.

“Kami menunggu jawaban pihak MK, mudah-mudahan MK melihat urgensi dari kehadiran Menteri Keuangan, kehadiran Menteri Sosial yang kelihatannya tidak terlalu terlibat dalam penyaluran bansos," kata Ketua Hukum TPN Ganjar-Mahfud Todung Mulya Lubis, Kamis (28/3).

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU