MK Batalkan 2 Pasal tentang Penyebaran Berita Bohong di UU Peraturan Hukum Pidana
Hukum | 21 Maret 2024, 20:55 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan dua pasal tentang penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pembatalan kedua pasal tersebut merupakan sebagian permohonan yang diajukan oleh Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanti, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Para pemohon menyoal Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, Pasal 310 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (3) UU 9/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Kamis (21/3/224) MK mengabulkan sebagian permohonan mereka, yakni yang terkait Peraturan Hukum Pidana dan KUHP.
Sementara, permohonan pengujian UU ITE tidak diterima karena kehilangan obyek perkara mengingat UU tersebut telah direvisi dan regulasi yang baru telah ditetapkan pada 2 Januari 2024 lalu.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat adanya ambiguitas dalam unsur ”berita atau pemberitahuan bohong” serta ”kabar tidak pasti atau kabar berkelebihan”.
Ambiguitas tersebut menyebabkan sulitnya menemukan ukuran serta parameter akan ”kebenaran” atas suatu hal yang disampaikan masyarakat.
Baca Juga: Gerindra Pastikan Prabowo-Gibran Siap Hadapi Gugatan Pemilu di MK
”Ketidakjelasan ukuran atau parameter demikian dapat menjadi benih atau embrio bahwa seseorang yang menyampaikan sesuatu hal tersebut telah melakukan perbuatan yang berkaitan dengan penyampaian berita atau pemberitahuan bohong,” kata Hakim Konstitusi Arsul Sani, dikutip Kompas.id.
Penilaian terhadap hal itu sangat bergantung pada penilaian oleh subyek hukum yang memiliki latar belakang berbeda-beda.
Kondisi tersebut dapat menimbulkan pembatasan terhadap hak tiap orang untuk berkreativitas dalam berpikir guna menemukan kebenaran itu sendiri.
”Dengan demikian, masyarakat tidak lagi memiliki kebebasan untuk berpendapat sebagai bentuk partisipasi publik dalam kehidupan berdemokrasi,” ujar Arsul.
MK juga menilai, ketentuan Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 mengandung pasal karet yang tidak jelas tolak ukurnya.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, pasal tersebut diangggap tak lagi relevan. Sebab, masyarakat dengan mudah mengakses informasi secara cepat tanpa diketahui informasi itu berita bohong atau berita benar atau berita berkelebihan.
Dalam pertimbangannya, MK juga menilai unsur onar atau keonaran di dalam Pasal 14 UU 1/1946 mengandung ketidakjelasan ukuran atau parameter yang menjadi batas bahaya.
Kata keonaran dalam kedua pasal tersebut dinilai berpotensi menimbulkan multitafsir, karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda
”Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat tindak pidana,” kata Arsul Sani.
Selain menghapus ketentuan Pasal 14 dan 15 UU 1/1946, MK juga mengubah ketentuan Pasal 310 UU 1/2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan menambahkan frasa ”dengan cara lisan”.
Pasal tersebut kemudian menjadi berbunyi: ”Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam dengan pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ratus ribu lima ratus rupiah”.
Hakim konstitusi menilai kedua pasal tersebut dinilai sebagai pasal karet yang tidak jelas parameter atau tolok ukurnya, sehingga berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan dalam penerapannya.
MK juga berpendapat bahwa pasal itu dapat menjerat pihak-pihak yang sebenarnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa.
Baca Juga: Gugat Hasil Pilpres 2024, Ganjar: Mahkamah Konstitusi Benteng Terakhir
Hal itu dapat menyebabkan kebebasan berpendapat menjadi terancam aktualisasinya.
Sebab, hal yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subyektif dan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan.
Terlebih, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna ”keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut, seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada.
”Hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan putusan di Jakarta, Kamis (21/3/2024).
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas.id