> >

Gibran Mengaku Belum Nonton Dirty Vote: Makasih Masukannya, Kalau Ada Kecurangan Silakan Dilaporkan

Politik | 12 Februari 2024, 18:37 WIB
Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka saat memberikan keterangan di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (12/2/2024). (Sumber: Aris Wasita/Antara)

SURAKARTA, KOMPAS.TV - Cawapres Gibran Rakabuming Raka menanggapi film Dirty Vote yang dirilis jelang hari pemilihan Pemilu 2024. Gibran mengaku belum menonton film yang membahas dugaan kecurangan pemilu tersebut.

"Saya belum nonton. Makasih ya untuk masukannya,” kata Gibran kepada wartawan saat berada di Surakarta, Jawa Tengah, Senin (12/2/2024).

"Kalau ada kecurangan silakan nanti dibuktikan, dilaporkan,” ujarnya.

Baca Juga: Alasan Dirty Vote Dirilis saat Masa Tenang Pemilu, Sutradara: Refleksi Politik Jelang Hari Pemilihan

Saat ditanya apakah merasa dirugikan dengan film Dirty Vote, putra Presiden RI Joko Widodo itu mengaku biasa saja.

"Saya belum nonton. Biasa aja,” katanya.

Gibran sendiri menghadiri sejumlah kegiatan sebagai wali kota Surakarta pada hari kedua masa tenang pemilu, Senin (12/2). Gibran meninjau perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) di Kecamatan Pasar Kliwon dan menghadiri pembekalan linmas jelang pemilu.

Sebelumnya, Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka langsung menggelar konferensi pers sekitar sejam usai Dirty Vote dirilis di Youtube. Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran Habiburokhman menyebut film itu sebagai fitnah.

"Di negara demokrasi semua orang memang bebas menyampaikan pendapat. Namun, kalau kami sampaikan bahwa sebagian besar yang disampaikan dalam film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah, narasi kebencian yang sangat asumtif dan sangat tidak ilmiah,” kata Habiburokhman dalam konferensi pers pada Minggu (11/2).

Sementara itu, pengamat politik dari LIMA Indonesia, Ray Rangkuti menilai film Dirty Vote berhasil menjelaskan alur kecurangan untuk mencapai kemenangan politik yang tidak halal.

Ray Rangkuti menilai film Dirty Vote tidak hanya mewakili keresahan dan kegetiran masyarakat, tetapi juga sebagai perlawanan. Menurutnya, perlawanan masyarakat bisa membesar jika tidak direspons secara arif bijaksana.

“Bila tidak ada kearifan untuk menjawabnya. Alih-alih sikap arif, tapi malah disikapi dengan keangkuhan. Misalnya dengan menyebut gerakan-gerakan moral itu, khususnya yang dilakukan oleh para sivitas akademika, sebagai partisan, tidak ilmiah, bahkan disertai ancaman-ancaman hukum. Bahwa gerakan-gerakan moral itu disebut sebagai tidak bermoral, ditandingi dengan puja puji pada kekuasaan. Yang kesemuanya hanya akan menambah kejengkelan rakyat,” kata Ray Rangkuti.

“Dan bisa jadi, tanggal 14 kemarahan berikutnya akan terjadi. Berpalingnya pemilih untuk kembali ke nurani masing-masing. Nurani yang pasti menjunjung tinggi akhlak demokrasi,” ujarnya.

Baca Juga: Masa Tenang Pemilu, Gibran Blusukan Tinjau Perbaikan RTLH sebagai Wali Kota

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU