> >

ICW Beberkan Pemicu Indeks Persepsi Korupsi Stagnan: Jokowi Sibuk Cawe-cawe Urusan Politik

Hukum | 31 Januari 2024, 08:46 WIB
Presiden RI Joko Widodo dan menteri pertahanan sekaligus capres nomor urut 2, Prabowo Subianto diapit sejumlah seleb dan pesohor usai peresmian Graha Utama Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah, Senin (29/1/2024). (Sumber: Partai Gerindra via X)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Indonesia Corruption Watch (ICW) memetakan ada tujuh persoalan yang disinyalir turut menjadi faktor melemahnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2023.

Hal itu disampaikan peneliti ICW Kurnia Ramadhana merespons stagnannya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2023 kepada KOMPAS TV, Rabu (31/1/2024).

Pertama, Presiden Jokowi lebih sibuk “cawe-cawe” dalam urusan politik, ketimbang melakukan pembenahan hukum. Seperti diketahui, saat ini Indonesia memiliki setumpuk tunggakan legislasi yang diyakini dapat menyokong agenda pemberantasan korupsi, mulai dari RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, hingga Revisi UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dengan menyesuaikan norma konvensi PBB Melawan Korupsi,” ucap Kurnia.

“Alih-alih dikerjakan, Presiden malah larut dengan nuansa politik dan melupakan janji politik penguatan pemberantasan korupsinya.”

Kedua, Presiden Jokowi lepas tanggung jawab terhadap situasi yang amat mengkhawatirkan di KPK. Kurnia menegaskan kesimpulan tersebut bukan tanpa dasar, sebab Pasal 3 UU KPK baru telah meletakkan Presiden sebagai atasan administratif lembaga antirasuah itu.

Baca Juga: Simbol Dua Jari dari Mobil Dinas Presiden, Pengamat: Tidak Jelas Tindakan dan Sikap Bawaslu

“Jadi, setiap peristiwa yang terjadi di KPK, khususnya menyangkut buruknya tata kelola kelembagaan, Presiden harus mengambil tindakan. Akan tetapi, hal tersebut juga tidak dikerjakan,” kata Kurnia.

“Akibatnya, kinerja KPK menurun, bahkan kepercayaan masyarakat merosot tajam belakangan waktu terakhir.”

Ketiga, Kurnia menilai proyek legislasi yang dihasilkan oleh Presiden bersama dengan DPR telah berhasil mendegradasi pemaknaan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Misalnya, UU Pemasyarakatan (UU PAS), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

“Hal ini dikarenakan substansi UU PAS melonggarkan aturan pemberian remisi bagi terpidana korupsi. Akibatnya, para terpidana korupsi dapat lebih cepat menjalani masa pemidanaan, seperti Pinangki Sirna Malasari, Wahyu Setiawan, atau Nur Alam. Sedangkan KUHP, hukuman penjaranya justru lebih ringan ketimbang UU Tipikor,” jelas Kurnia.

Baca Juga: Gus Yahya Tegaskan PBNU Netral di Pilpres 2024: Kami Tidak Terlibat dalam Dukung-Mendukung

Keempat, Kurnia menilai ada sumbangsih rendahnya komitmen pemberantasan korupsi dari aparat penegak hukum yang mengakibatkan IPK stagnan. Seperti halnya di KPK, di mana tahun 2023 menjadi periode terburuk sepanjang sejarah karena Ketua KPK Firli Bahuri ditetapkan sebagai Tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi oleh Polda Metro Jaya.

“Belum lagi ditambah problematika internal, baik dugaan pelanggaran kode etik maupun korupsi berjamaah puluhan pegawai KPK di rumah tahanannya sendiri,” ujar Kurnia.

“Selain itu, kepolisian dan kejaksaan juga memperlihatkan gejala yang hampir serupa. Betapa tidak, beberapa bulan lalu dua lembaga penegak hukum itu kompak menunda proses hukum yang melibatkan peserta pemilu karena khawatir dipolitisasi. Argumentasi ini jelas menunjukkan sikap yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi.”

Kelima, Kurnia menyoroti peran lembaga kekuasaan kehakiman masih belum berorientasi pada pemberian efek jera saat menjatuhkan hukuman terhadap pelaku korupsi. Bahkan di tahun 2023 justru ada beberapa putusan janggal yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Baca Juga: Pengamat Sebut Jokowi Bertemu AHY untuk Push Kinerja Demokrat Menangkan Prabowo-Gibran di Pilpres

“Misalnya, mantan Hakim Agung, Gazalba Saleh, divonis bebas pada tingkat kasasi. Selain itu, ada pengusaha kelapa sawit, Surya Darmadi, yang kewajiban pembayaran uang pengganti sebesar Rp 39,75 triliun dihapus oleh MA,” jelas Kurnia.

“Sebenarnya, rendahnya vonis pengadilan ini bukan hal mengejutkan lagi. Merujuk pada data ICW, rata-rata hukuman terdakwa korupsi sepanjang tahun 2022 hanya 3 tahun 4 bulan penjara.”

Keenam, lanjut Kurnia, di penghujung kepemimpinan Presiden Jokowi, praktik lancung berupa konflik kepentingan pejabat publik bukan hanya ditolerir, tapi seakan dianjurkan. Jokowi, kata Kurnia, justru mengambil kebijakan yang memungkinkan menteri-menterinya turut serta pada Pemilu 2024 tanpa harus mengundurkan diri.

 

“Teranyar, ia malah menegaskan bahwa dirinya dan menteri boleh berkampanye dan berpihak dalam kontestasi electoral. Kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak jauh berbeda. Dari pemantauan ICW mulai dari November 2022 – September 2023, ditemukan bahwa sedikitnya 142 dari 263 instrumen pengawas di BUMN terindikasi rangkap jabatan,” ungkap Kurnia.

Baca Juga: Jokowi Bertemu AHY, Timnas AMIN: Kelihatan Moralitas Politik Sudah Tidak Sebagai Pemimpin Nasional

“Sebagaimana diketahui rangkap jabatan merupakan salah satu bentuk nyata dari konflik kepentingan.”

Terakhir atau ketujuh, Kurnia menuturkan gelombang korupsi di sektor politik kian masif belakangan waktu terakhir. Hal itu ditunjukkan dengan 6 menteri dan 1 wakil menteri di era Jokowi yang tersandung kasus korupsi.

“Yakni, Juliari P Batubara (Menteri Sosial), Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Idrus Marham (Menteri Sosial), Johnny G Plate (Menteri Komunikasi dan Informatika), Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian), dan Eddy OS Hiariej (Wakil Menteri Hukum dan HAM). Jumlah ini terbilang paling banyak jika dibandingkan dengan rezim pemerintahan sebelumnya,” kata Kurnia.

Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU