> >

Kata Mereka soal Debat Cawapres: Kandidat Belum Menunjukkan Pemahaman Terhadap Isu Krisis Iklim

Politik | 23 Januari 2024, 00:30 WIB
Suasana nonton bareng debat cawapres edisi kedua, Minggu (21/1/2024). Acara sekaligus diskusi itu menghadirkan narasumber seperti Dandy Dwi Laksono, co-founder Watchdoc, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik UI, Hurriyah dan Rika Novayanti dari PilahPilih.id. (Sumber: Istimewa)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Debat calon wakil presiden (cawapres) edisi terakhir sudah berlangsung pada Minggu (22/1/2024) malam kemarin. Debat ini merupakan yang keempat dari lima debat yang disiapkan Komisi Pemlihan Umum (KPU) untuk Pilpres 2024. 

Namun, debat yang diikuti cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar, nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka dan cawapres nomor urut 3 Mahfud MD itu belum menunjukkan keseriusan mereka dan kebijakan di dalam isu krisis iklim karena masih terjebak dalam gimmick-gimmick politik. 

Demikian hal tersebut mengemuka saat digelarnya nonton bareng debat cawpares yang digelar GenZ Memilih, Pilahpilih.id dan Bijak Memilih serta dihadiri langsung maupun online oleh ratusan pemilih muda dan pemerhati lingkungan, Minggu.

Baca Juga: Penilaian pakar Mikroeskpresi terhadap Gestur 3 Cawapres saat Debat Keempat

Tampak juga bahwa ajang debat cawapres yang dilakukan masih terlihat seru sebagai tontonan namun minim substansi, padahal pemilih muda sangat antusias menunggu sesi debat ini. 

“Seolah-olah voters kita itu mementingkan gimik. Belum pernah ada nobar dengan antusiasme seperti ini. Biasanya nobar bola yang begini, jadi ini budaya baru dalam sejarah politik Indonesia dan sayang kalau momen ini justru membuat kita di Pemilu kedepan jadi seperti cheerleader untuk main gimik dan tidak terjadi discourse di situ, tapi sayang elit kita belum seprogresif kita,” kata Dandy Dwi Laksono, co-founder Watchdoc yang juga menjadi salah satu narasumber dalam acara nonton bareng itu.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik UI, Hurriyah menambahkan topik yang terlihat dalam debat justru menunjukkan persoalan serius pada reformasi agraria yang menyimpang dari tujuan awalnya. Mereka juga mengakui bahwa reforma agraria memiliki harga yang harus ditanggung masyarakat, juga kerusakan lingkungan.

Baca Juga: Pengamat Sebut Gibran Mendapatkan Sentimen Negatif Terbesar Seusai Debat Cawapres

“Dan konflik yang memperlihatkan negara sedang bergandengan tangan dengan oligarki, dengan para pengusaha untuk menghadapi masyarakat. Dan negara ketika berkonflik dengan masyarakat menggunakan aparatur negara, keterlibatan militer dalam kasus konflik agraria seperti di Rempang dan Wadas, itu hal yang terjadi tapi masalah itu yang nggak banyak digali oleh para kandidat,” sambung dia.

Untuk itu, pertanyaan selanjutnya adalah apakah nantinya pemimpin yang terpilih akan melanjutkan ideologi pembangunan yang dalam prakteknya sangat eksploitatif dan destruktif. Karena tidak berpihak pada pemulihan lingkungan dan perlindungan pada hak masyarakat.

“Cek lagi visi-misi program di masing-masing kandidat dan rekam jejak para kandidat,
itu yang harus kita lakukan. Kenapa itu jadi penting, karena dalam prakteknya ketika
seorang pemimpin terpilih penguasa itu bergandengan tangan dengan oligarki dan ada
yang serius dalam menghadapi oligarki,” papar Hurriyah.

Adapun Rika Novayanti dari PilahPilih.id mengungkapkan percakapan yang ada dalam debat lebih nampak antara penguatan kebijakan dan pemberian insentif kepada investor. Namun, para calon wakil presiden yang ada menurutnya juga belum bisa memunculkan hubungan antara perubahan iklim dengan hal-hal lain. Padahal krisis iklim akan berdampak pada segala lini kehidupan.

Baca Juga: Kata Drone Emprit dan Peneliti Litbang Kompas soal Respons Warganet ke Debat Cawapres

“Yang paling penting itu mereka lupa soal efisiensi, padahal nggak bisa transisi energi tanpa efisiensi. Mindset baterai dilihat sebagai renewable dan sustainable energy padahal itu cuma tempat penyimpanan. Listriknya dari mana? Manajemen industrinya bagaimana? Pelibatan masyarakat lokal terhadap proyek tersebut bagaimana? Karena hal yang paling mahal dari transisi adalah konflik,” jelasnya.

Lebih lanjut dijelaskannya, ada sejumlah rekomendasi bagi pemilih muda, termasuk untuk memastikan visi misi dari masing-masing calon, memperhatikan rekam jejak mereka serta tidak terjebak pada gimik yang ada.

“Terakhir kita harus melihat dan memilih sesuai prinsip, jangan karena FOMO,”
pungkas dia.

 

Penulis : Gading Persada Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU