> >

Peneliti Pukat UGM Sebut Presiden Bisa Intervensi KPK, Zaenur Rohman: Sangat Mungkin Dilakukan

Hukum | 1 Desember 2023, 21:06 WIB
Foto arsip. Presiden Jokowi memimpin ratas mengenai perniagaan elektronik, Senin (25/09/2023), di Istana Merdeka, Jakarta. (Sumber: Humas Setkab)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Peneliti di Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menyebut Presiden bisa mengintervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Zaenur mengungkapkan, sejak dahulu KPK kerap diintervensi berbagai pihak, baik Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun aparat penegak hukum lain, misalnya kepolisian dan kejaksaan.

"Saya sangat yakin, haqqul yaqin, sangat mungkin intervensi itu dilakukan. KPK itu dari dulu diintervensi oleh berbagai pihak," kata Zaenur di program Kompas Petang KompasTV, Jumat (1/12/2023).

Ia pun menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi sangat mungkin mengintervensi lembaga antirasuah itu, sebagaimana diungkapkan oleh Ketua KPK 2014-2019 Agus Rahardjo.

"Saya sih katakan sangat mungkin. Mungkin-mungkin saja. Tapi apakah itu bisa dibuktikan atau tidak. Itu memang menjadi tugas dari Agus Rahardjo ketika ia menyampaikan kepada publik," jelasnya.

Tapi meskipun tidak berhasil membuktikan secara hukum, kata Zaenur, publik jadi mengetahui bahwa pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, sebelum Revisi Undang-Undang KPK, sudah ada intervensi-intervensi dalam bentuk permintaan untuk menghentikan perkara.

Baca Juga: Mahfud MD Buka Suara Soal Agus Rahardjo Sebut Presiden Intervensi KPK

Ia menjelaskan, UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK memungkinkan Presiden untuk mengintervensi KPK. Pasalnya, Presiden bisa memilih Dewan Pengawas KPK, menetapkan peraturan mengenai supervisi, serta menetapkan organisasi pelaksana pengawasan.

"Banyak sekali intervensi melalui undang-undang, bukan kasus per kasus," tegasnya.

Ia pun mengungkapkan, indeks persepsi korupsi di Indonesia anjlok pada tahun 2022 di angka 30, persis seperti ketika Jokowi menjadi Presiden RI pertama kali pada tahun 2014.

"Artinya selama 9 tahun nol prestasi, karena KPK-nya tidak lagi independen, KPK-nya bisa di-remote dari eksternal, KPK-nya kemudian banyak sekali ada pelanggaran-pelanggaran di dalam," jelasnya.

Menurut Zaenur, KPK telah disusupi "Kuda Troya" yang bisa dikendalikan dari luar.

Sebagaimana telah diberitakan sebelumnya, isu intervensi Presiden Jokowi terhadap KPK diungkapkan oleh Agus Rahardjo di Program Rosi, KompasTV pada Kamis (30/11/2023) malam.

Agus menceritakan pengalamannya dimarahi Presiden Jokowi terkait kasus korupsi megaproyek KTP Elektronik (E-KTP) yang menyeret nama Setya Novanto.

Baca Juga: Akses Firli Bahuri sebagai Ketua KPK Diputus, Tak Bisa Ambil Keputusan Apapun

Ia mengatakan, saat menjabat sebagai Ketua KPK, dirinya sempat dipanggil untuk menghadap Jokowi sendiri, tanpa empat komisioner KPK lainnya.

"Saya terus terang pada waktu kasus E-KTP saya dipanggil sendirian oleh Presiden. Saya heran biasanya memanggil berlima, ini kok sendirian. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan," kata Agus, Kamis (30/11) malam.

"Di sana begitu saya masuk, presiden sudah marah. Karena baru saya masuk, beliau sudah teriak 'Hentikan'," sambungnya.

Ketua KPK periode 2015-2019 itu mengaku awalnya merasa bingung maksud kata 'hentikan' yang diucap Jokowi. Namun akhirnya ia pun mengerti bahwa maksud dari Jokowi adalah agar dirinya dapat menghentikan kasus E-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto (Setnov).

Ia mengaku tak menuruti perintah Jokowi untuk menghentikan pengusutan kasus tersebut, mengingat Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) telah diterbitkan.

"Saya bicara apa adanya saja bahwa sprindik sudah saya keluarkan 3 minggu yang lalu, saat itu di KPK tidak ada SP3, tidak mungkin saya memberhentikan itu," jelasnya.

"Karena tugas di KPK seperti itu, makanya kemudian tidak saya perhatikan, saya jalan terus," ucap Agus Rahardjo.

 

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU