Presiden Jokowi Dilaporkan ke KPK, Kepala Staf Kepresidenan: Hati-Hati Lapor Tanpa Bukti
Hukum | 23 Oktober 2023, 19:53 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro buka suara usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan kolusi dan nepotisme. Juri mengingatkan, pelapor harus membuktikan tuduhannya.
"Menyangkut Pak Presiden dan keluarga, saya ingin menyampaikan bahwa sesuai prinsip hukum: siapa yang menuduh dia yang harus membuktikan," kata Juri di Jakarta, Senin (23/10/2023), seperti dilaporkan jurnalis KOMPAS TV, Cindy Permadi.
Dia lantas memberikan peringatan kepada pelapor yang juga melaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Wali Kota Solo/Surakarta Gibran Rakabuming Raka, serta Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep, agar memberikan bukti, bukan sekadar asumsi.
"Jadi hati-hati melaporkan hanya dengan asumsi tanpa bukti. Apalagi yang dituduh adalah presiden dan keluarga," tegasnya.
"Terhadap pihak lain yang dituduh saya tidak berkomentar," sambungnya.
Baca Juga: Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman, Gibran, dan Kaesang Dilaporkan ke KPK Dugaan Kolusi Nepotisme
Sebagaimana diberitakan Kompas.tv, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan Jokowi bersama dua putranya, Gibran dan Kaesang, serta iparnya, Anwar Usman, ke KPK.
Koordinator TPDI, Erick Samuel Paat, mengatakan laporan tersebut berkaitan dengan dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme.
"Tadi kami melaporkan dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme kepada pimpinan KPK yang diduga dilakukan oleh Presiden kita RI Joko Widodo dengan Ketua MK Anwar, juga Gibran dan Kaesang dan lain-lain," jelas Erick, Senin, dikutip dari Kompas.com.
KPK telah menerima laporan tersebut dengan nomor informasi 2023-A-04294 yang ditandatangani oleh Maria Josephine Wak.
Baca Juga: Jokowi Sebut Gibran Putuskan Sendiri Pilihan jadi Bakal Cawapres Prabowo Subianto
Erick menyatakan, pihaknya melaporkan Presiden Jokowi serta Gibran, terkait putusan MK yang mengabulkan gugatan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Erick mengatakan pihaknya menilai putusan tersebut mengindikasikan adanya konflik kepentingan karena jabatan ketua MK kini sedang diduduki oleh Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi.
Menurut dia, gugatan bernomor 90/PU-XII/2023 tentang batas usia capres-cawapres yang dikabulkan oleh hakim MK ini tercantum nama Gibran.
Selain itu, ada gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kini diketuai oleh putra bungsu Jokowi, Kaesang.
"Kaitannya bahwa Presiden dengan Anwar itu ipar, kita tahu ya karena menikah dengan adiknya presiden. Nah kemudian, Gibran anaknya (Jokowi)," tuturnya.
Erick menyebut, hakim MK harus mengundurkan diri apabila ada gugatan yang pemohonnya memiliki hubungan keluarga dengannya.
"Tapi kenapa Ketua MK tetap membiarkan dirinya tetap menjadi Ketua Majelis Hakim? Nah, ini ada keterkaitannya dengan kedudukan Presiden Jokowi yang menjadi salah satu pihak yang harus hadir dalam persidangan ini," tegasnya.
Ia pun menduga ada unsur kesengajaan dan pembiaran dalam penanganan perkara gugatan batas usia capres-cawapres. Sehingga, ia menilai hal tersebut diduga kuat merupakan tindakan nepotisme antara para terlapor.
"Nah ini yang kami lihat kolusi dan nepotismenya antara Ketua MK sebagai Ketua Majelis Hakim, dengan Presiden Jokowi, dengan keponakannya Gibran, dan keponakannya Kaesang," ujarnya.
Sebelumnya, MK menyatakan mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menggugat batas usia capres dan cawapres yang diatur dalam pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu.
Perkara itu diajukan mahasiswa asal Kota Solo bernama Almas Tsaqibbirru. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
"Mengadili: 1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. 2 Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 610 yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,'" kata Ketua MK Anwar Usman di gedung MK, Senin (16/10/2023).
"Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah,'" lanjutnya.
Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV, Kompas.com