> >

Setara Institute Minta MK Segera Putus Gugatan Batas Umur Capres-Cawapres untuk Kepastian Hukum

Politik | 27 September 2023, 01:30 WIB
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin jalannya sidang gugatan batas usia capres-cawapres hari ini, Selasa (22/8/2023) yang batal mendengarkan keterangan ahli. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV/Nadia)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi meminta Mahkamah Konstitusi (MK) segera mengelar sidang pleno pembacaan putusan terkait uji materi terhadap batas usia capres-cawapres dalam Undang-Undang (UU) Pemilu. 

Hendardi menjelaskan, dorongan mengelar sidang pleno ini untuk memberikan kepastian hukum mengingat tahapan Pilpres 2024 akan memasuki masa pendaftaran pada 19-25 Oktober 2023. 

Apalagi, kata dia, MK telah menyelesaikan tahap pemeriksaan dan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) atas perkara 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023.

Menurut Hendardi, menunda pembacaan putusan padahal sudah diputus, sama saja menunda keadilan.

Dia menambahkan, menunda keadilan berarti menolak keadilan sebagaimana doktrin justice delayed justice denied yang artinya putusan MK tidak akan berarti bagi penegakan kehidupan berkonstitusi.

Baca Juga: Mahfud MD Sebut MK Tak Berwenang Ubah Batasan Usia Capres-Cawapres dalam UU Pemilu

"Pentingnya menyegerakan pembacaan putusan juga ditujukan memberi pembelajaran bagi warga dan elite yang nafsu berkuasa dengan terus mengorkestrasi argumen keadilan, seolah-olah pembatasan usia capres cawapres adalah diskriminatif sehingga harus ditafsir lain," ujar Hendardi dalam pesan tertulisnya, Selasa (26/9/2023).

Dia mengatakan desain konstitusional MK adalah instrumen yang ditugaskan menegakkan keadilan konstitusional, atas norma-norma yang mengandung dimensi dan merupakan isu konstitusional. 

Permohonan terbaru uji materiil ketentuan batas usia capres dan cawapres kembali diajukan ke MK oleh warga Solo yang masih berstatus mahasiswa pada Selasa, 12 September 2023 tercatat pada nomor perkara 90/PUU-XXI/2023. 

Selain tidak punya legal standing karena pemohon tidak sedang dan akan nyapres, Hendardi menilai permohonan ini sangat politis karena pemohon meminta tafsir dan makna konstitusional ketentuan batas usia itu dimaknai dengan syarat usia 40 tahun atau pernah menjabat sebagai gubernur/bupati/wali kota.

Dengan kata lain, sambungnya, pemohon kembali mengambil langkah antisipatif bilamana MK telanjur memutus menolak permohonan serupa pada tiga permohonan gugatan yang sama dan hampir putus.

Baca Juga: Penjelasan Lengkap Mahfud soal Gugatan Batas Usia Cawapres Menjadi 35 Tahun

"MK bukan mahkamah keranjang sampah yang bisa memeriksa semua perkara atau tempat semua curhatan warga mencari keadilan," ujarnya. 

Hendardi menilai sudah sejak lama ihwal pengaturan usia pejabat publik dikategorikan bukan sebagai isu konstitusional oleh MK.

Sebagaimana dalam putusan nomor 37/PUU-VIII/2010 terkait usia pimpinan KPK, putusan 49/PUU-IX/2011 terkait syarat usia calon hakim konstitusi.

Kemudian putusan nomor 15/PUU-XV/2017 terkait usia calon kepala daerah, putusan nomor 58/PUU-XVII/2019 dan putusan nomor 112/PUU-XX/2022 terkait syarat usia pimpinan KPK yang tetap dinyatakan sebagai bukan isu konstitusional. 

Menurut Hendardi, batas usia dalam pengisian jabatan publik jelas merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, yang oleh karenanya bukan kewenangan MK untuk mengatur.

Baca Juga: Kata Gibran soal Peluang Maju di Pilpres dan Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres

"Presiden dan DPR sebagai lawmaker adalah institusi yang berwenang menetapkan batasan usia tersebut," ujar Hendardi.

Dalam riset 10 tahun kinerja MK, Setara Institute mencatat MK telah berkontribusi memberikan batasan pemaknaan terhadap konsep diskriminasi dan non-diskriminasi. 

MK menegaskan perlakuan berbeda dengan diskriminasi adalah bukan hal yang sama. Sebab banyak salah kaprah penggunaan dalil diskriminasi yang sebenarnya adalah bentuk perlakuan berbeda dalam kondisi yang berbeda.  

Hendardi mengatakan MK telah mempertegas batasan tafsir diskriminasi, yang sering kali dijadikan argumen dan dalil pengujian konstitusionalitas norma. 

Perlakuan berbeda dalam mengisi posisi jabatan-jabatan tertentu misalnya, dapat dibenarkan dengan menakar relevansi fungsi kelembagaan tersebut. 

Baca Juga: KPU dan DPR Sepakati Pendaftaran Capres-Cawapres Jadi 19-25 Oktober 2023

Perlakuan berbeda atau pembedaan, kata dia, dapat dibenarkan sepanjang tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik serta tidak dilakukan secara sewenang-wenang dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang.

Untuk itu, sambung Hendardi, MK harus tahan ujian di tahun politik, meskipun sebagian orang telah meragukannya.

Dia menilai MK adalah satu-satunya harapan penjaga kualitas demokrasi dalam pemilu, saat para penyelenggaran pemilu dan pemerintah menunjukkan gejala tidak netral dalam kontestasi. 

"MK juga yang bisa menghentikan konsolidasi politik dinasti yang dikendalikan oligarki, yang telanjur memerankan sebagai pengendali republik melalui praktik vetocracy di hampir semua kebijakan negara," pungkas Hendardi. 

 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU