Munas NU: Pimpinan hingga Pengurus Harian Dilarang Jadi Pengurus Partai
Politik | 20 September 2023, 15:42 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) resmi ditutup, Selasa (19/9/2023).
Ada sejumlah rekomendasi yang disepakati dari Munas Konbes NU yang dilaksanakan dua hari mulai tanggal 18 hingga 19 September 2023 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur.
Di bidang organisasi disepakati pengurus harian NU semua tingkatan dilarang merangkap jabatan dalam organisasi politik, yaitu partai politik atau organisasi yang berafiliasi dengan partai politik.
Pengurus harian dalam kepengurusan NU ini meliputi semua pengurus dalam jajaran syuriyah dan tanfidziyah.
Kemudian mandataris muktamar dan konferensi dalam hal ini adalah Rais Aam dan ketua umum PBNU serta rais dan ketua PWNU, PCNU, ranting, dan anak ranting, juga tidak diperbolehkan menjadi pengurus partai politik, apapun jabatannya.
Baca Juga: Anies dan Ganjar Mulai berebut Suara Nahdlatul Ulama?
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Faisal Saimima menjelasakan, dalam Anggaran Rumah Tangga PBNU sudah sangat jelas menyebutkan secara spesifik, pengurus harian NU tidak boleh rangkap jabatan sebagai pengurus harian partai politik.
Begitu juga di tingkat pimpinan NU dilarang menduduki jabatan pengurus partai.
"Alasannya adalah mandataris itu pemimpin NU yang kita muliakan, sehingga tidak pantas kedudukannya itu ada di partai politik," ujarnya saat menyampaikan hasil sidang komisi organisasi dalam Sidang Pleno Munas Konbes NU 2023, dikutip dari NU Online, Rabu (20/9/2023).
Labih lanjut, Faisal menjelaskan, meski dilarang menjadi pengurus partai, pengurus harian NU tidak dilarang untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon legislatif, maupun calon kepala daerah bahkan hingga kepala desa.
Namun untuk pimpinan, tetap dilarang untuk mencalonkan diri sebagai Caleg, Cakada hingga Capres dan Cawapres.
Baca Juga: Sanjung Presiden di Munas, Yahya Staquf: NU Tidak Akan Jauh-jauh dari Jokowi
"Kalau mandataris dia nyaleg, nyapres, bahkan sampai calon camat sekali pun, itu harus mengundurkan diri atau diberhentikan," ujar Faisal.
Pedoman Berpolitik NU
Terpisah, Ketua Komisi Rekomendasi Munas Alim Ulama NU Ulil Abshar Abdalla menyatakan, dalam Munas-Konbes NU ditegaskan kembali NU tidak terlibat dalam politik dukung mendukung.
Baik kepada partai politik ataupun kepada bakal calon kepala daerah, Caleg, hingga Capres dan Cawapres.
Ulil menyatakan bahwa NU lebih mementingkan nilai yang diperjuangkan, bukan siapa dan partai apa yang harus didukung.
Baca Juga: Begini Penilaian Ketum PBNU Gus Yahya soal Ganjar Muncul di Tayangan Azan
Politik NU, sambung Ulil, harus berdasarkan nilai-nilai kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan.
"Itu adalah rekomendasi kita terkait dengan politik elektoral atau pemilu mendatang," ujarnya.
Adapun dalam Munas ini juga diputuskan sembilan butir pedoman berpolitik bagi warga NU. Keputusan ini hasil Muktamar pada tahun 1989 di Krapyak.
1. Berpolitik bagi NU adalah keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Berpolitik haruslah didasarkan kepada wawasan kebangsaan untuk menjaga keutuhan bangsa.
3. Berpolitik adalah wujud dari pengembangan kemerdekaan yang hakiki untuk mendidik kedewasaan warga guna mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik harus diselenggarakan dengan akhlaqul karimah sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
5. Berpolitik harus diselenggarakan dengan kejujuran, disadari moralitas agama, konsitusional, dan adil sesuai dengan norma-norma yang disepakati.
6. Berpolitik dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasioanal, bukan malah menghancurkannya.
7. Berpolitik, dengan alasan apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah bangsa.
8. Perbedaan aspirasi politik di kalangan warga nahdliyin haruslah tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu, dan saling menghargai satu sama lain.
9. Politik harus mendorong tumbuhnya masyarakat yang mandiri sebagai mitra pemerintah, begitu rupa sehingga penyelenggaraan negara tidak boleh bersifat state heavy, melulu dikuasai pemerintah dengan mengabaikan aspirasi masyarakat, melainkan bersifat dua arah dan timbal balik.
Penulis : Johannes Mangihot Editor : Fadhilah
Sumber : Kompas TV