> >

Puisi Chairil Anwar Bertemakan Kemerdekaan untuk Peringati HUT ke-78 RI

Humaniora | 16 Agustus 2023, 15:58 WIB
Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45 yang terkenal dengan puisi Aku dan tanggal wafatnya diperingati sebagai Hari Puisi Nasional di Indonesia. (Sumber: Kemdikbud)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Jelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 pada 17 Agustus 2023, berikut puisi-puisi Chairil Anwar yang bertemakan kemerdekaan.

Chairil Anwar adalah penyair pentolan Angkatan 1945 yang terkemuka di Indonesia.

Kritikus sastra H.B. Jassin menyebutnya sebagai pelopor Angkatan 1945 dan puisi modern Indonesia.

Chairil Anwar diperkirakan telah menulis 96 karya sepanjang hidupnya.

Pria asal Medan, Sumatera Utara ini lahir pada 1922 dan meninggal dunia di Jakarta pada 28 April 1949.

Di antara sekian puisi karya Chairil Anwar, terdapat beberapa puisi yang bertema kemerdekaan atau perjuangan.

Baca Juga: Kumpulan Puisi Romantis Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni hingga Pada Suatu Hari Nanti

Berikut puisi-puisi Chairil Anwar yang bertemakan kemerdekaan sebagaimana dimuat dalam bunga rampai Aku Ini Binatang Jalang yang pertama diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 1986.

Puis-puisi Chairil Anwar Bertema Kemerdekaan

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.

Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.

(Februari 1943)

SIAP-SEDIA

kepada angkatanku

Tanganmu nanti tegang kaku,
Jantungmu nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu nanti mengeras batu,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus memahat ini Tugu,

Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.

Suaramu nanti diam ditekan,
Namamu nanti terbang hilang,
Langkahmu nanti enggan ke depan,
Tapi kami sederap mengganti,
Bersatu maju, ke Kemenangan.

Darah kami panas selama,
Badan kami tertempa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna di angkasa,
Kami pembawa ke Bahgia nyata.

Kawan, kawan
Menepis segar angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menembus surya cahaya
Memancar pencar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutan

Segala menyala-nyala!
Segala menyala-nyala!

Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesedaran
Mencucuk menerang hingga belulang.
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!

(1944)

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,
dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(1948)

PERJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
     bermata tajam,
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu....
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

(1948)

KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.

(1948)

Baca Juga: Sejarah dan Makna Lomba 17 Agustusan, Kapan Pertama Dimulai?

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU