Apa Itu Teori Konspirasi? Apa Faktor Seseorang Percaya Konspirasi? Berikut Penjelasannya
Humaniora | 2 Agustus 2023, 02:05 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Teori konspirasi adalah istilah yang kian dikenal seiring berkembangnya penetrasi internet. Seiring berkembangnya media sosial dan platform perpesanan, semakin banyak teori konspirasi yang beredar di masyarakat.
Adapun contoh-contoh teori konspirasi yang sempat ramai di Indonesia antara lain adalah isu vaksinasi Covid-19 sebagai modus pembunuhan massal, isu Covid-19 sebagai senjata biologis, Adolf Hitler mati di Garut, hingga Nabi Sulaiman dimakamkan di Borobudur, Magelang.
Tentu isu-isu tersebut tidak terbukti secara sahih. Namun, isu-isu konspiratif itu sempat populer di masyarakat dan menuding kelompok-kelompok tertentu “menutupi kebenaran.”
Apa itu teori konspirasi?
Mengutip ensiklopedia Britannica, teori konspirasi adalah upaya untuk menjelaskan peristiwa tragis sebagai hasil dari tindakan sekelompok penguasa kecil. Penjelasan konspiratif menyangkal versi resmi atau konsensual tentang terjadinya peristiwa.
Baca Juga: Teddy Minahasa Sebut Kasusnya Penuh Kejanggalan: Ada Konspirasi untuk Membinasakan Saya
Persebaran teori konspirasi disebut terkait dengan masa-masa penuh ketidakjelasan, kecemasan yang meluas, atau masa serba susah. Teori konspirasi sering muncul usai malapetakan seperti tsunami, gempa bumi, hingga pandemi.
Isi teori konspirasi umumnya ditujukan untuk mengikat emosi tanpa melalui standar verifikasi. Teori konspirasi disebut bisa bertahan dan tersebar karena bias psikis manusia dan rasa tidak percaya kepada sumber resmi.
Kenapa orang-orang percaya teori konspirasi?
Orang-orang rentan percaya teori konspirasi karena kombinasi faktor kepribadian diri dan motivasi. American Psycological Association (APA) menyebut faktor-faktor itu termasuk terlalu mengandalkan intuisi, mempunyai rasa antagonism dan superioritas atas kelompok lain, dan mempersepsikan ancaman di lingkungannya.
Sebuah studi tentang faktor pendorong pemercaya teori konspirasi belakangan ini diterbitkan di jurnal Psychological Bulletin. Penulis utama studi tersebut, Shauna Bowes, mahasiswa doktoral psikologi klinis di Universitas Emory AS, menyebut studi itu mendeteksi keberagaman faktor pendorong pemercaya teori konspirasi.
“Pemercaya teori konspirasi tidak semuanya adalah orang-orang yang mentalnya tidak sehat atau berpikiran sederhana—suatu potret yang sering ditampilkan di budaya populer,” kata Bowes.
“Alih-alih, banyak orang beralih ke teori-teori konspirasi untuk memenuhi kebutuhan motivasional yang terampas dan berusaha menalar gangguan dan penderitaan yang dialami,” lanjutnya.
Studi itu menemukan bahwa, secara umum, orang-orang yang meyakini teori konspirasi didorong oleh rasa ingin memahami dan mencari rasa aman di lingkungannya. Mereka juga ingin mengidentifikasikan diri dengan kelompok yang diinginkan beserta rasa superioritasnya terhadap kelompok lain.
Para peneliti menemukan bukti bahwa orang-orang cendrung lebih percaya teori-teori konspirasi yang spesifik karena termotivasi hubungan-hubungan sosial. Contohnya, pemercaya teori konspirasi berbasis relasi sosial lebih berkemungkinan meyakini teori seperti pemerintah AS merencakan serangan 9/11 untuk mempertahankan kekuasaan atas masyarakat.
Para peneliti juga menemukan bahwa orang-orang dengan sifat kepribadian tertentu seperti antagonisme dan paranoid lebih rentan percaya teori konspirasi. Mereka yang percaya teori konspirasi juga cenderung bersifat merasa tidak aman (insecure), punya emosi tidak stabil, impulsif, pencuriga, manipulatif, egosentrik, serta eksentrik.
Baca Juga: Lionel Messi Terseret Isu Konspirasi di Piala Dunia 2022, Disebut Bakal Buat Argentina Jadi Juara
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV