> >

Polemik Kasus Basarnas, Pakar Hukum Nilai KPK Tak Sepatutnya Minta Maaf: Mereka Menjalankan Tugasnya

Hukum | 29 Juli 2023, 21:17 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai tidak sepatutnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta maaf usai menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka kasus dugaan suap. (Sumber: Tangkap Layar Kompas TV.)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai tidak sepatutnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta maaf usai menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka kasus dugaan suap.

Pasalnya, kata dia, lembaga antirasuah tengah menjalankan tugasnya sebagai lembaga penegak hukum.

"Saya harus beri catatan, menurut saya KPK tidak sepatutnya minta maaf, karena sebenarnya ia tengah menjalankan tugasnya," kata Bivitri dalam Kompas Petang, KompasTV, Sabtu (29/7/2023).

"Kalau memang ada hal-hal yang harus dijernihkan, dan setahu saya juga sudah direncanakan akan dibuat tim penyidik Tim Koneksitas ini, ya seharusnya langsung jalankan saja. Karena kita harus berpegang pada ini tindak pidananya apa," sambungnya.

Ia pun menilai tidak kesalahan prosedur dalam penetapan Kepala Basarnas sebagai tersangka.

Bivitri kemudian menyinggung terkait Undang-Undang KPK pasal 42, di mana lembaga antirasuah mempunyai wewenang untuk melakukan proses penegakan hukum terhadap prajurit militer. 

Pasal itu berbunyi, "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum."

"Sebenarnya dasarnya tidak (menyalahi prosedur) ya. Karena kita harus ingat ada Pasal 42 UU KPK ," ujarnya.

"Jadi intinya kan tindak pidananya itu dalam konteks peradilan umum, siapa saja bisa melakukan," sambung Bivitri.

Baca Juga: Polemik Suap Basarnas, Alexander Marwata: Saya Tak Salahkan Tim KPK, Ini Kekhilafan Pimpinan

Meski demikian ia pun tak mengelak jika yang menjadi persoalan dalam polemik tersebut adalah terkait peradilan militer.

"Ini (peradilan militer) memang anomali, unik, dan ini adalah kalau saya sebut beban sejarah, kita masih punya peradilan militer sehingga kalau pelakunya ada yang anggota TNI maka biasanya akan dibentuk tim koneksitas, jadi ada sipilnya ada militernya," jelasnya.

Penulis : Isnaya Helmi Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU