Soal Penetapan Tersangka Kabasarnas, PUKAT UGM: KPK Berkaca Pada Mandeknya Kasus Helikopter AW-101
Hukum | 29 Juli 2023, 12:12 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan anak buahnya Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka dugaan suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai polemik.
Tak lama setelah penetapan tersangka tersebut, TNI mengatakan bahwa KPK dinilai tak memiliki dasar hukum dan tak berhak menetapkan anggota militer aktif sebagai tersangka.
Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko yang didampingi Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono, Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro, dan jajaran pun mendatangi markas KPK di Gedung Merah Putih Jakarta pada Jumat (28/7/2023) sore.
Setelah jajaran TNI melakukan pertemuan dengan pimpinan KPK sekitar dua jam, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan bahwa pihaknya khilaf telah menangkap Kepala Basarnas.
”Di sini ada kekeliruan dan kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI agar dapat disampaikan kepada Panglima TNI Yudo Margono dan jajaran TNI. Atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan,” ujar Tanak.
Baca Juga: KPK Belum Komentar terkait Kabar Mundurnya Dirdik Brigjen Asep Usai Penetapan Tersangka Kabasarnas
Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM Totok Dwi Diantoro mengatakan memang ada kekhawatiran publik terkait kasus hukum Henri dan Afri yang kini ditangani TNI.
"Akan ada potensi itu (jalan di tempat), mengingat kelembagaan militer/TNI yang kuat, eksklusif dan tidak tersentuh," kata Totok kepada Kompas.com, Jumat.
Sementara itu, peneliti PUKAT UGM Zaenur Rochman menduga penetapan tersangka terhadap Henri dan Afri karena KPK berkaca pada mandeknya kasus dugaan korupsi Helikopter AW-101 dari unsur militer.
Puspom TNI terbitkan SP3
Sebagai informasi, sebelumnya Puspom TNI pernah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap lima tersangka dari unsur militer terkait dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101 tahun 2015-2017.
Adapun kelima tersangka dari unsur militer yang dimaksud dalam kasus Helikopter AW-101 ialah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas Letkol Adm WW.
Lainnya, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Dalam perjalanan perkara ini, Mejalis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis terhadap Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh dengan pidana selama 10 tahun penjara.
Irfan Kurnia Saleh dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan korupsi pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di lingkungan TNI Angkatan Udara (AU) tahun 2015-2017.
"Itu mungkin KPK menganggap bahwa tidak lancar ketika misalnya ditangani sendiri-sendiri. Sehinga mungkin KPK untuk kasus Basarnas menetapkan tersangka sendiri," sambung Zaenur Rochman.
Baca Juga: KPK Dinilai Menyalahi Ketentuan TNI Usai Tetapkan Kabasarnas Henri Alfiandi Sebagai Tersangka
Menurutnya, Meminta maaf merupakan satu-satunya langkah yang bisa dilakukan oleh pimpinan KPK meskipun hal tersebut berdampak pada citra profesionalitas lembaga antirasuah tersebut.
Zaenur menilai, KPK dan TNI seharusnya membentuk tim koneksitas untuk menangani kasus dugaan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di tubuh Basarnas.
"Itu tentu dengan persetujuan bersama antara KPK dengan TNI," ujar Zaenur, seperti dikutip dari Kompas.id.
Keberadaan tim koneksitas tersebut dapat lebih menjamin tuntasnya penanganan perkara dengan meniadakan disparitas dalam penegakan hukumnya.
”Dalam kasus Basarnas, pilihannya ada dua, yaitu dibentuk tim koneksitas atau dilakukan sendiri (oleh Polisi Militer). Namun, kalau dilakukan Polisi Militer sendiri, KPK harus melakukan koordinasi dan pengendalian perkara. UU KPK memberikan jaminan itu, tetapi saya berharap ada tim koneksitas,” ungkapnya.
Adapun jaminan atas koordinasi dan pengendalian dalam penanganan perkara yang melibatkan sipil dan militer tersebut ada di dalam Pasal 42 UU KPK.
”Jadi, KPK bisa mengoordinasikan dan mengendalikan prosesnya sehingga tidak ada disparitas dalam penanganannya,” ujar dia.
Meskipun demikian, ia yakin Polisi Militer TNI akan menangani kasus tersebut secara terbuka mengingat perkara tersebut sudah diketahui oleh publik secara luas.
Selain itu, kasus tersebut juga akan terungkap dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang mengadili pihak swasta/sipil yang terlibat dalam kasus tersebut.
Penulis : Dian Nita Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas.com, Kompas.id