> >

Kisah Residen Belanda Hilang Gorden, Menuduh Ada Kekuatan Menggulingkan Kekuasaan

Humaniora | 16 Juni 2023, 08:31 WIB
Para pejabat kolonial Belanda di Indonesia (Sumber:Intisari-GRID-)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, seperti disampaikan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte secara resmi. Belanda sebelumnya hanya mengakui bahwa hari kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949 sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar dan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke RI. Kemudian pada tahun 2005, Belanda telah menerima secara politik dan moral bahwa Indonesia merdeka pada tahun 1945.

Penerimaan kemerdekaan ini tak pelak membuka lembar sejarah kolonialisme Belanda di tanah air dengan segala penindasannya. Salah satunya, seperti dituliskan oleh sejarawan Ong Hok Ham dalam buku "Dari soal Priayi sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis Nusantara" (Penerbit KOMPAS, 2019). 

Pada 8 Oktober 1899, kain gorden yang menggantung di ruang tempat Residen Madiun J.J Donner biasa sarapan, hilang dicuri. Sang residen menuding ini bukan pencurian biasa, namun ada upaya menjatuhkan martabatnya sebagai pejabat kolonial Belanda. Dia pun pun menghubungi Bupati Madiun R.M.A Brotoningrat dan mengatakan secara tegas bahwa pencurian itu punya motif politik.

Baca Juga: Presiden Jokowi Sambut Pengakuan Belanda atas Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Impactnya Kemana-mana

Lebih jauh, Donner bahkan menuduh sang bupati sebagai sponsor dan dalang pencurian itu. Konflik dua pejabat itu pun tak terhindarkan, meski Bupati Brotoningrat tetap berusaha menangkap sang pencuri. Dan setelah sebulan penyelidikan, sang pencuri diketahui tapi Donner tidak bisa menerima dan tetap menganggap itu adalah tindakan subversif. Ketegangan antara residen dan bupati pun memuncak hingga terjadi kekosongan kekuasaan dua tahun lamanya. 

Residen mengusulkan kepada pemerintah kolonial di Batavia untuk membuang sang bupati dan keluarganya. Bupati Brotoningrat kemudian dibuang ke Padang, Sumatera Barat pada tahun 1900. Residen kemudian membuat laporan kepada Gubernur Jenderal yang sangat lengkap, isinya menuding bahwa ada upaya dari bupati untuk menggalang kekuatan demi mengobarkan "Perang Diponegoro Jilid 2".

Untuk memperjelas kasus yang dipicu oleh urusan pencurian gorden itu, Batavia akhirnya mengutus seorang ahli Islam dan pribumi Profesor Snouck Hurgronje ke Madiun. Dalam laporannya, Snouck menuliskan tidak mungkin menemukan fakta-fakta komplotan yang akan memulai Perang Jawa lagi dalam tempo singkat. Tapi Snouck merekomendasikan Bupati Brotoningrat dipecat dan tidak lagi tinggal di Madiun, sebab konfliknya sudah diketahui masyarakat.

Pemerintah kolonial Belanda akhirnya memecat Brotoningrat dengan uang pensiun dan kemudian mempensiunkan Donner dengan bintang Nassau. Rupanya, persoalan tidak selasai sampai di sana. Di masa pensiunnya, Donner terus saja membuat laporan berdasarkan imajinasinya yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda dan Kementerian Jajahan di Den Haag. Intinya, ada komplotan yang digerakkan oleh Brotoningrat untuk menggulingkan kekuasaan Belanda di tanah air, yang dia sebut Anti-gouvernmentele partij.

Untuk memperkuat argumen palsunya, Donner menghubungkan semua peristiwa baik yang terjadi di tanah air maupun internasional sebagai "bukti". Misalnya, naiknya sultan Turki sebagai khalifah, kedatangan ibu Bupati ke Ngawi yang menimbulkan ledakan amunisi, pembakaran ladang tebu, aliansi Budhisme, Pan Hinduisme dan Pan Islam, sampai pembangunan masjid dan pemugaran candi, yang disebut merupakan kekuatan antiperadaban barat. 

Tapi yang tak kalah penting, tahun-tahun tersebut keluar novel karya L.Couperus yang berjudul Stille Kracht (Kekuatan Gaib), yang mengilhami Donner melontarkan semua tuduhannya.

Dalam analisisnya, Ong Hok Ham menuliskan bahwa tuduhan pejabat kolonial itu sangat berlebihan. "Memang betul bahwa komplotan yang dituduhkan Donner itu kini kelihatan sangat berlebihan dan lebih sebagai fantasi. Namun bila dilihat dari sisi ketakutan kekuasaan kolonial, tuduhan J.J. Donner itu dianggap terlalu gila." 

Baca Juga: Belasting Rijder DJP dan Perang Belasting Masyarakat Pribumi Melawan Aturan Pajak Kolonial Belanda

Bagi Ong, sejarah ini memperlihatkan paranoidnya kekuasaan. "Yang menarik adalah fantasi para penguasa pada waktu itu dan ke arah mana paranoia (ketakutan) dapat membawa mereka," tulisnya.  

Penulis : Iman Firdaus Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU