Curhatan Mantan Dokter Residen kepada Menteri Kesehatan yang Viral: Tak Kuat Dirundung Senior
Peristiwa | 4 Mei 2023, 16:47 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Salah satu mantan dokter residen, mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS), yang tak ingin membuka identitasnya mencurahkan unek-unek kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam diskusi terbuka pada Minggu (30/4/2023).
Saat itu, Menkes Budi Gunadi menjadi pembicara dalam diskusi yang membahas tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang dipandu oleh dokter Alvin Saputra.
Diskusi terbuka ini disiarkan melalui akun Youtube Asclepio Masterclass, platform edukasi kedokteran online bagi para dokter.
Salah satu dokter yang menjadi peserta diskusi tersebut mengaku sebagai dokter umum dari Pulau Jawa.
Ia mengeklaim, dengan berat hati dirinya mengundurkan diri dari PPDS karena tak kuat dengan kultur senioritas di dalamnya.
"Saya ini adalah mantan residen, mantan mahasiswa PPDS calon dokter spesialis, yang per tahun 2023 ini saya terpaksa harus mengundurkan diri dari PPDS, karena saya mengalami kejadian bullying dari PPDS yang cukup parah dan terus-menerus," ungkapnya.
Ia mengaku memahami bahwa program studi PPDS yang ia pilih memang memiliki kultur pendidikan yang keras.
"Tapi setelah saya masuk di PPDS ternyata kulturnya itu jauh lebih keras daripada yang saya bayangkan, bahkan menurut saya banyak sekali kultur PPDS yang di luar batas kewajaran," ungkapnya.
Awalnya, ia mengaku dimasukkan ke dalam grup percakapan daring pada hari-H pengumuman penerimaan mahasiswa.
"Belum officially diterima masuk, saya sudah dimasukkan ke grup chat oleh kakak kelas saya," jelasnya.
Di dalam grup percakapan itu, ia mengaku dihina, dimarahi, dan diperintah untuk melakukan aktivitas fisik.
"Sebelum diterima pun sudah sering dihukum hanya karena masalah sepele, seperti telat balas chat, atau typo satu huruf di chat aja sudah bisa jadi alasan kakak kelas untuk menghukum saya," ujarnya.
Baca Juga: Perploncoan dalam Pendidikan Dokter Sudah Ada sejak Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang
Ia dan teman-temannya, lanjut dia, didoktrin tentang senioritas yang harus menurut dengan senior, baik residen senior maupun dokter spesialis.
"Haram hukumnya kalau kami menolak perintah atau keinginan dari kakak kelas dan dosen," kata dia.
Perintah senior itu, kata dia, di antaranya meminta dibelikan makanan mahal, rokok, alat tulis, dan obat-obatan. Ia menyebut, permintaan atau perintah itu juga tidak kenal waktu.
"Bahkan perintah kakak kelas juga tidak kenal waktu pak, bisa saja jam 12 malam kita disuruh belikan apa dan harus antar ke rumah sakit, jam 2 pagi belikan apa datang ke rumah sakit, atau jaga di bangsal padahal bukan jadwal kami," terangnya kepada Menkes Budi.
Semua pekerjaan itu, imbuhnya, tidak mempertimbangkan jam istirahat jam tidur, meski para dokter residen itu baru selesai berjaga 24 jam.
Ia mengaku sering dikumpulkan dengan teman-teman seangkatannya untuk mengikuti kegiatan malam di mana mereka akan dihukum dan dimaki.
"Kami juga menerima kekerasan fisik, psikologis, di mana setiap hari itu kami sering banget dapat pelecehan verbal," lanjut dia.
Baca Juga: Ramai Bullying Dokter, Kemenkes Pernah Usulkan Pasal Anti-Perundungan Masuk RUU Kesehatan
Karena tak kuat dengan kultur PPDS tersebut, ia mengaku memutuskan untuk mengundurkan diri.
"Akhirnya saya memutuskan keluar PPDS karena kesehatan fisik dan mental saya terganggu, bahkan saya juga rutin konseling sama psikolog dan psikiater karena PTSD, gangguan depresi dan gangguan cemas," jelasnya.
Ia pun mengusulkan perubahan sistem pendidikan dokter spesialis kepada menteri yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN pada 2019 itu. Menurut dia, sistem pendidikan dokter spesialis tidak perlu mengikuti sistem pendidikan militer.
"Jadi perlu ada perubahan, perbaikan sistem kedokteran, supaya lebih terbuka, transparan dan objektif, dan tidak ada diskriminasi antara junior dan senior, maupun diskriminasi suku, ras, agama, dan gender," jelasnya.
Ia mendesak pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk membuat program antibullying di PPDS. Sebab, menurut dia, banyak calon dokter sepesialis yang memutuskan berhenti akibat tak kuat dengan praktik tersebut.
"Karena bullying ini juga menyebabkan banyak sekali residen yang tidak kuat dan drop-out," jelasnya.
Senada, dokter Alvin Saputra yang menjadi pemandu diskusi ini juga membenarkan peristiwa perundungan di PPDS.
"Itu memang benar adanya, Pak. Memang tidak bisa digeneralisasi, tapi memang ada beberapa yang masih terjadi seperti itu," kata dr. Alvin.
"Ini sudah menjadi budaya yang sudah mendarah daging dan dianggap biasa saja oleh seniornya," imbuhnya.
Baca Juga: Kemenkes Sebut Pasal Anti-Bullying Terhadap Dokter Diusulkan Masuk ke RUU Kesehatan
Menanggapi curhatan mantan dokter residen itu, Budi pun mengatakan persoalan dalam pendidikan kedokteran memang ramai diperbincangkan di dalam grup percakapan dokter.
"Program yang misalnya mengenai pendidikan kedokteran, itu ramai dibicarakan di semua WA group dokter, tapi sebenarnya ada 90 sampai 100 program lain yang tidak pernah saya lihat atau sangat kurang dibicarakan di WA group dokter," ungkap lulusan fisika nuklir Institut Teknologi Bandung ini.
Ia pun menjelaskan, RUU Kesehatan yang dirancang pemerintah saat ini bertujuan untuk memperkuat dan memperbaiki sistem kesehatan nasional.
Berkaca dari pandemi Covid-19, lanjut dia, negara-negara di seluruh dunia menyadari lemahnya sistem kesehatan nasional.
"Jadi nggak ada satu negara pun yg menyatakan bahwa negaranya sangat siap dan sangat bagus sistem kesehatan nasionalnya," ungkapnya.
Ia pun mengajak para dokter untuk tak hanya fokus pada beberapa hal, namun keseluruhan poin dalam reformasi sistem kesehatan nasional.
"Saya rasa teman-teman sebagai salah satu individu yang nantinya akan menjaga sistem kesehatan kita ke depan, teman-teman perlu juga memahami yang 90 sampai 100 program lain, bukan hanya 2 atau 5 yang ramai di WA group," jelasnya.
Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV