> >

Mendagri Jelaskan 4 Syarat Pendirian Rumah Ibadah, Termasuk Dukungan Warga Sekitar

Humaniora | 9 April 2023, 14:59 WIB
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan empat syarat yang harus dipenuhi untuk mendirikan rumah ibadah, berdasarkan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

BOGOR, KOMPAS.TV – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan empat syarat yang harus dipenuhi untuk mendirikan rumah ibadah.

Hal ini berdasarkan pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006.

Menurut Tito, PBM tersebut salah satunya mengatur tentang kerukunan hidup beragama, termasuk pembentukan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB).

Namun, di Pasal 14 PBM tersebut, yang mengatur mengenai pendirian rumah ibadah, disyaratkan empat hal, yakni minimal 90 jemaah, harus ada dukungan 60 warga sekitar, rekomendasi FKUB, dan rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama (Kemenag) di masing-masing daerah.

Ia menyebut banyak masalah dalam praktik pelaksanaan aturan tersebut.

“Dalam praktik, ini banyak masalah,” kata Tito pada saat sambutan peresmian Gereja GKI Pengadilan Pos Bogor Barat yang dulu dikenal dengan nama GKI Yasmin.

“Pertama adalah 90 orang untuk mendirikan tempa ibadah, begitu kemudian yang melaksanakan ibadah itu kurang dari 90, mulai timbul protes, terutama di rumah,” tuturnya.

Misalnya, saat pelaksanaan ibadah dilakukan di salah satu rumah, dan jumlah jemaat yang hadir mencapai 90 orang, itu terkadang menimbulkan pro dan kontra.

Baca Juga: Hadiri Peresmian Gereja Yasmin di Bogor, Mendagri Wacanakan Anggaran untuk FKUB untuk Cegah Konflik

“Satu minggu mungkin di rumah, di ruko, yang jumlahnya 90 orang, padahal itu bukan rumah ibadah. Ini pro kontra. Itu ada yang mengatakan, ‘Itu rumah ibadah’, kurang dari 90, bubarin,” ungkapnya, menjelaskan.

Kedua, keharusan mendapatkan dukungan dari 60 warga sekitar.

Menurut Tito, tak jarang warga sudah mendukung, tetapi ada orang dari kelompok tertentu yang memengaruhi masyarakat agar tidak mencapai 60 dukungan.

“Warganya mungkin mendukung, tidak masalah, tapi ada kelompok-kelompok tertentu dari pihak-pihak lain memengaruhi masyarakat supaya jangan sampai dapat 60 dukungan,” kata Tito.

Selanjutnya adalah dukungan atau rekomendasi dari Kantor Kemenag setempat untuk memperoleh izin, termasuk izin mendirikan bangunan (IMB).

Rekomendasi dari Kantor Kemenag setempat, lanjut Tito, sangat tergantung dari kebijakan pemerintah daerahnya.

“Ini risiko kita memang dengan pilkada langsung. Dengan adanya Pj ini, gampang. Pj yang kira-kira nggak berani, nggak berani untuk menegakkan pluralisme, ya kita ganti,” ujarnya.

“Tapi kalau yang pilkada, kan dapat suara dari rakyatnya. Kalah, takut kalah, akhirnya pro kepada yang dianggapnya mayoritas. Tapi itu tidak melindungi konstitusi,” kata dia.

Selanjutnya, rekomendasi dari FKUB. Tito menyebut daerah-daerah yang FKUBnya aktif, biasanya jarang terjadi konflik keagamaan.

“Pengalaman kami waktu jadi Kapolri, beberapa kali menangani konflik, biasanya FKUB-FKUB yang aktif, memang dia ada program, pertemuan bulanan,” tuturnya.

FKUB yang rajin melaksanakan pertemuan, kata Tito, dapat memecahkan masalah sebelum pecah menjadi konflik.

“Kalau mereka rajin melakukan pertemuan, biasanya selesai masalahnya. Tapi yang jarang ketemu, ya responsif. Begitu dia pecah baru kemudian dikumpulkan. Kuncinya ada pada kepala daerah yaitu menganggarkan (dana). Coba kita cek ke daerah-daerah, ada yang menganggarkan ada yang tidak menganggarkan,” kata dia.

Oleh sebab itu, ia mewacanakan agar pemerintah menganggarkan dana untuk FKUB.

“Mungkin kami akan menekankan kembali, nanti Bapak Menko (Polhukam) kami laporkan, untuk FKUB agar dibiayai, dan mereka membuat program,” ujarnya.

Baca Juga: Biar Pemerintahan Jalan Kemendagri Tunjuk Wakil Muhammad Adil jadi Plt Bupati Meranti

Dalam kesempatan itu, Tito juga menyebut bahwa dirinya sudah sering menyampaikan, jika konflik agam pecah di suatu daerah, harga yang harus dibayar jauh lebih mahal daripada mengantisipasi.

“Saya sering menyampaikan, itu kalau sudah pecah, harganya mahal sekali. Kami dua tahun di Poso, perih melihatnya. Masyarakat Islam, kristen tidak pernah masalah sebelum tahun 1998, bahkan ada rumah yang satu Islam satu kristen, keluarganya. Tapi kemudian terbelah dan saling membunuh, korbannya ribuan. Ini cost nya sangat tinggi kalau sudah terjadi seperti itu. Padahal kalau dengan dirawat sebetulnya costnya lebih rendah,” tutur Tito.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU