Kisah Teladan Agus Salim dan Hatta, Tokoh Bangsa yang Lekat dengan Kesederhanaan hingga Akhir Hayat
Sosok | 24 Februari 2023, 10:43 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Haji Agus Salim, pahlawan nasional yang jasa besarnya bagi negara ini tak diragukan, seperti enggan menikmati kekayaan sebagai pejabat negara.
Profesor William Schermerhorn, salah seorang pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, memiliki penilaian khusus tentang sosok Menteri Luar Negeri di awal kemerdekaan ini.
Menurut dia, Agus Salim adalah sosok orang yang sangat pandai, jenius dan menguasai sembilan bahasa. Tapi dia punya satu kelemahan, "yaitu selama hidupnya melarat," tulis Prof Schermerhorn dalam catatan hariannya, Senin malam 1 Oktober 1946.
Baca Juga: Selain Proklamasi, Ada 10 Pahlawan Nasional Lahir Agustus, dari Mohammad Hatta hingga Ibu Tien
Kemelaratan Agus Salim sudah dikenal di kalangan sesama sahabat dan pejabat kala itu. Bukan untuk menyembunyikan kekayaan, namun menang benar-benar tidak punya keberlimpahan harta.
Mohammad Roem yang pernah duduk sebagai Wakil Perdana Menteri, sahabat sekaligus "anak didik" Salim, pernah menuliskan kenangan pada Salim dalam sebuah catatan berjudul "Haji Agus Salim" yang termaktub dalam buku " Seratus Tahun Haji Agus Salim" (Pustaka Sinar Harapan, 1996). Pada suatu kesempatan di tahun 1925, Roem dan beberapa sahabat sengaja bertandang ke rumah Agus Salim di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Mereka pergi memakai sepeda.
Sampai Stasiun Senen, jalan sudah diaspal, tetapi seterusnya masih tanah dan banyak berlubang.
"Melalui jalan itu dengan sepeda seperti duduk di perahu di atas air yang berombak," kata Roem. Tanah Tinggi masih kampung yang becek.
Padahal, sosok Agus Salim kala itu, sudah sangat dikenal sebagai tokoh pergerakan dan pemimpin Sarekat Islam. Banyak tokoh berguru padanya, termasuk Presiden Soekarno.
Cukup lama Salim berpindah kontrakan rumah. Namun hal itu tak pernah mengubah sikapnya yang ceria.
"Kami mendapatkan diri dalam suasana gembira, anak-anak yang kami sudah kenal sedang bersenda gurau," kenang Roem. Salim menjalankan prinsip leiden is lijden, memimpin adalah menderita.
Tak jauh beda dengan Agus Salim, Proklamator Mohammda Hatta juga demikian sederhana dan berhati-hati dalam memakai fasilitas negara.
Pada suatu hari, Gemala Rabi'ah Hatta yang sempat bekerja sambilan di Konsulat Jenderal Indonesia di Sydney ketika mendapat beasiswa di Australia berkirim surat kepada ayahnya. Surat itu ternyata menggunakan amplot milik Konsulat dengan cap resmi. Akibatnya, Hatta membalas surat itu dengan nasihat.
"Kalau menulis surat kepada Ayah dan lain-lainnya, janganlah pakai kertas Konsulat Jenderal Indonesia. Surat-surat Gemala kan surat pribadi, bukan surat dinas," kata Hatta.
Dan salah satu kisah yang terkenal adalah saat dia ingin membeli sepatu Bally, merek sepatu bermutu tinggi pada 1950-an. Ia bahkan menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, dikutip dari Harian Kompas, 25 April 2002.
Baca Juga: Kisah Mohammad Hatta Zaman Kolonial, Diasingkan dan Pindah ke "Rumah Setan" tanpa Diganggu
Karena harganya yang mahal, Bung Hatta harus menabung untuk bisa membeli sepatu impiannya itu.
Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau membantu kerabat dan kawan yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan.
Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.
Tak lama setelah wafat, keluarga Bung Hatta menemukan lipatan guntingan iklan lama dalam dompetnya. Iklan itu adalah iklan sepatu merek Bally, yang dulu disimpannya. Kisah mengharukan dan penuh teladan.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV