Gerakan Bawah Tanah: Upaya Kemerdekaan di Zaman Revolusi, Cara Meringankan Hukuman di Masa Kini
Peristiwa | 29 Januari 2023, 10:22 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Istilah "gerakan bawah tanah" kembali mencuat setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menko Polhukam Mahfud MD menyebutnya dalam konteks upaya meringankan hukuman Ferdy Sambo, terdakwa pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Bahkan Mahfud MD juga menyebut-nyebut seorang brigadir jenderal.
"Ada yang bilang soal brigjen mendekati A dan B, brigjennya siapa saya suruh sebut ke saya, nanti saya punya mayjen banyak kok," ujar Mahfud, Kamis 19 Januari 2023 lalu.
Dia pun memastikan, kejaksaan independen, tidak akan terpengaruh dengan gerakan-gerakan bawah tanah itu.
Baca Juga: Tanggapi soal Gerakan Bawah Tanah untuk Vonis Ferdy Sambo, Jubir KY: Hakim Tetap Pegang Otoritas
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mengatakan gerakan bawah tanah yang bertujuan untuk meringankan hukuman Ferdy Sambo, memang ada dan dapat dikatakan berhasil.
Namun demikian, kata Sugeng, keberhasilan dari gerakan yang disebut 'gerilya' itu belum mencapai angka 100 persen.
Secara istilah, "gerakan bawah tanah" digunakan oleh para pemuda di zaman sebelum Revolusi tahun 1940-an saat Jepang bercokol di Tanah Air.
Gerakan mereka tidak menjurus pada perlawanan bersenjata, tetapi lebih bertujuan menggalang solidaritas dan memperteguh cita-cita perjuangan.
Dua orang tokohnya adalah Sutan Sjahrir dan Amir Syarifuddin. Mereka, misalnya, menyebarluaskan cita-cita kemerdekaan, menghimpun orang-orang yang revolusioner, dan mengungkap segala kebohongan yang dilakukan Jepang.
Sementara pada saat yang sama, Jepang justeru sedang menggalang dukungan dari rakyat Indonesia.
Dikutip dari situs kemendikbud, sejak Jepang ke Indonesia pada Maret 1942, mereka mulai melakukan propaganda dengan memanfaatkan data-data intelijen untuk merancang propaganda yang dapat menarik simpati rakyat Indonesia.
"Kultur lokal yang mengaitkan seluruh peristiwa sebagai akibat hal-hal yang berbau metafisis dipahami benar oleh Jepang, misalnya mengenai ramalan Joyoboyo tentang datangnya bangsa berkulit kuning yang akan mengusir bangsa kulit putih," tulis situs tersebut.
Propaganda Jepang menarik perhatian masyarakat Indonesia, sehingga kedatangannya disambut gembira oleh rakyat. Nah, sebagian pemuda Indonesia justru melihat gelagat jahat Jepang.
Dari sinilah gerakan bawah tanah menjadi gerakan rahasia untuk menggalang solidaritas untuk menolak propaganda Jepang, sekaligus cara agar tak ditangkap.
Para tokoh gerakan bawah tanah ini, juga mendengarkan Radio Sekutu secara diam-diam dan menyebarluaskan informasi di antara mereka, serta melakukan diskusi.
Kelompok Sjahrir ini menyebar sampai di luar Jakarta, seperti di Cirebon, Garut, dan Semarang. Tokoh lain dalam jaringan bawah tanah ini adalah dr. Sudarsono dari Cirebon.
Sementara Amir Sjarifuddin sebagai bekas tokoh organisasi Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), bergerak lebih radikal lagi, dengan membangun jaringan kelompok di kalangan pemuda.
Tempat strategis untuk gerakan ini adalah asrama-asrama, di antaranya yang terpenting adalah Asrama Angkatan Baru Indonesia, Asrama Indonesia Merdeka, dan Asrama Fakultas Kedokteran, dimana dilakukan penempaan ideologi politik terhadap angkatan muda Indonesia.
Baca Juga: Ketua IPW: Gerakan Bawah Tanah untuk Meringankan Hukuman Ferdy Sambo Berhasil, tapi Belum 100 Persen
Kelompok gerakan bawah tanah ini berhasil dalam mempercepat lahirnya kemerdekaan Indonesia. Meski salah satu tokohnya, Amir Sjarifuddin, justeru dieksekui mati pada 1948, dengan tudingan terlibat PKI Madiun.
Namun saat ini, istilah gerakan bawah tanah punya makna "operasi senyap" mempengaruhi jalannya persidangan demi meringankan hukuman seorang terdakwa.
Misalnya terkini seperti apa yang diutarakan Menko Polhukam Mahfud MD terkait adanya 'gerakan bawah tanah' mempengaruhi vonis Ferdy Sambo.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV