Sejarah 17 Desember: Ada Kelahiran Soe Hok Gie, Aktivis yang Tutup Usia di Puncak Gunung Semeru
Sosok | 17 Desember 2022, 08:25 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Soe Hok Gie merupakan sosok yang dikenal sebagai aktivis Indonesia keturunan Tionghoa. Ia disebut-sebut turut andil dalam penurunan kekuasaan Soekarno dan kritis terhadap kepemimpinan Soeharto.
Soe Hok Gie meninggal saat mendaki Gunung Semeru pada 16 Desember 1969 atau sehari jelang ulang tahunnya yang ke-27. Gie meninggal bersama rekannya Idhan Lubis karena menghirup gas beracun di puncak Gunung Semeru.
Berikut profil Soe Hok Gie dalam perjalanan hidupnya selama 27 tahun
Gie lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Ia anak keempat dari lima bersaudara. Kakaknya Arief Budiman, seorang sosiolog dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) juga cukup kritis dan vokal dalam politik Indonesia.
Leluhur Soe Hok Gie adalah berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Tiongkok. Ayahnya bernama Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan.
- Pendidikan
Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius jurusan sastra. Selama mengenyam pendidikan di Kanisius itulah minat Gie pada dunia sastra semakin mendalam. Ia juga mulai tertarik pada ilmu sejarah.
Setelah menamatkan pendidikan di Kanisius, Gie melanjutkan pendidikannya di Universitas Indonesia (UI). Ia menjadi mahasiswa Fakultas Sastra UI Jurusan Sejarah tahun 1962-1969.
Saat menjadi mahasiswa, Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Ia juga menjadi salah satu pendiri Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (MAPALA UI).
Dalam perjalanannya, organisasi tersebut juga banyak melahirkan aktivis lingkungan, penulis buku dan petualang top Indonesia.
Baca Juga: Semeru: Puncak Abadi Para Dewa, Saksi Bisu Akhir Hidup Soe Hok Gie, hingga Jadi Lagu Dewa 19
- Kekritisan Soe Hok Gie
Diketahui, Gie telah rajin menulis catatan sejak ia berusia 15 tahun. Catatan hariannya kemudian dibukukan dan dicetak dengan judul ‘SOE HOK-GIE: Catatan Seorang Demonstran’ pada 1983.
Dari catatan hariannya itu diketahui, Gie rajin mencatat hal menarik dan penting dari karya Spengler, Shakespeare, Andre Gide, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar.
Ia juga kerap melontarkan ide-ide kritis saat masa pergolakan politik 1966. Ketika itu Gie beserta mahasiswa lain turun ke jalan dalam aksi Tritura.
Dirinya juga dianggap sebagai tokoh kunci dari aliansi mahasiswa-ABRI pada 1966 saat menjatuhkan Pemerintahan Presiden Sukarno.
Setelah Sukarno tumbang dan berganti kekuasaan di tangan Soeharto, dia memilih kembali ke kampus dan mengindari kekuasaan awal Orde Baru.
Dia lebih memilih menjadi unsur moral force pada awal kemenangan Orde Baru dengan cara kembali ke kampus untuk menggalang kekuatan alternatif.
Langkah yang ia ambil berbeda dengan 13 mahasiswa lainnya yang diangkat menjadi anggota parlemen.
Gie terus menyuarakan agar rakyat tak menyerah dan apatis terhadap pemerintahan saat adanya oknum-oknum yang menampar rakyat di masa Orde Baru.
Sosoknya yang cukup berani kerap kali tak segan menyebut nama seseorang maupun pelaku yang terlibat pada masalah-masalah aktual di zamannya.
Baca Juga: Soe Hok Gie, Demonstran yang Tewas di Gunung Semeru dan Kisah Pembuat Peti Mati yang Menangis
- Kolumnis
Sebagaimana disampaikan Harian Kompas 5 Juli 1970, Gie ditetapkan sebagai pemenang Hadiah Kehormatan Zakse.
Hal tersebut dilihat dari karya-karya Gie yang dipublikasikan di media massa seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya pada 1967-1970 dan pengabdiannya pada kehidupan kemahasiswaan, bangsa, dan negara.
Gie mendapatkan hadiah Kehormatan Zakse pada September 1970 setahun setelah ia meninggal.
Adapun sejumlah tulisan Gie yang pernah dipublikasikan yakni, Antara Kemerdekaan Intelektuil dan Instruksi Partai (Kompas, 20/8/1966), 18 September 1948-Djangan sekali-kali tinggalkan sedjarah... Madiun (Kompas, 20/9/1966), Tjita2 Kartini dlm pengalaman seorang mahasiswa Indonesia (Kompas, 20/4/1968), dan Catatan Seorang Demonstran.
Kisah detik-detik meninggalnya Soe Hok Gie
Melansir dari Kompas.com, dalam buku Soe Hok Gie...Sekali Lagi, Rudy Badil di artikel yang berjudul Antar Hok-Goe dan Idhan ke Atas, menceritakan perjalanan mereka saat mendaki gunung tertinggi di Pulau Jawa, Semeru.
"Gua akan ulang tahun tanggal 17 Desember, artinya hari Rabu yang jatuh lusa itu, besok kan Selasa tanggal 16 Desember. Gimana ya, seharusnya gua mau berulang tahun di tanah tertinggi di Pulau Jawa," ujar Gie diceritakan ulang oleh Rudy.
Mereka adalah Soe Hok Gie, Aristides, Herman Onesimus Lantang, Abdurrachman, Anton Wijana, Rudy Badil, dan dua anak didik Herman yakni Idhan Dhanvantari Lubis serta Freddy Lodewijk Lasut.
Perjalanan di mulai dari Stasiun Gambir pada 12 Desember 1969, tepatnya di hari lebaran kedua.
Rudy bercerita, kala itu Gie yang berjalan dengan Tides memilih istirahat sendirian di tepian lereng jelang puncak Semeru. Gie duduk termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut terlipat ke dada dan tangan menopang dagu.
Kepada Rudy, Gie menitipkan batu dari Semeru untuk dibawa pulang.
"Nih, gue titip ya, ambil dan bawa pulang batu Semeru, batu dari tanah tertinggi di Jawa. Simpan," kata Gie.
Rudy kemudian memilih melanjutkan perjalanan ke Recopodo. Tak lama kemudian Wiwiek juga bertemu dengan Gie di lokasi yang sama.
Pada Wiwiek, Gie menitipkan sejumput daun cemara yang dipetiknya di kemah darurat.
Di perkemahan darurat itu, Rudy bersama beberapa rekannya menunggu rombongan lain yang belum datang, termasuk Gie.
Saat sore mulai temaram. Tiba-tiba Freddy Lasut anggota termuda datang dan berteriak jika Idhan dan Hok Gie kecelakaan.
Tides yang paling senior meminta Freddy untuk kembali ke atas dengan membawa senter. Entah beberapa puluh menit. Freddy berdua dengan Herman meluncur dari atas.
Herman pun mengatakan Hok Gie dan Idhan meninggal. Mereka berdua sempat kejang sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
Malam itu mereka berenam menginap di tenda darurat. Keesokan harinya, Herman dan Freddy kembali ke lokasi Soe Hok Gie dan Idhan untuk memastikan kondisi kedua rekannya.
Soe Hok Gie dan Idhan meninggal dunia sejak Selasa sore. Tubuh Hoek Gie tetap di puncak Semeru di hari ulang tahunnya yang ke-27.
Jasad Soe Hok Gie berdampingan dengan Idham Lubis di tanah tertinggi di Pulau Jawa hampir selama seminggu.
Senin, 22 Desember 1969. Rombongan menjemput jenazah Soe Hok Gie dan Idhan di puncak Semeru. Saat ditemukan, jenazah keduanya masih bagus dan tak ada bekas gangguan apapuan.
Dengan balutan kain tebal, jenazah mereka berdua dievakusi ke bawah secara bergantian dengan melewati medan yang berat. Herman ikut dalam rombongan tersebut. Pada Selasa, 23 Desember 1969 dini hari, rombongan tiba di Ranu Pane.
Baca Juga: Kisah Almarhum Herman Lantang, Sahabat Soe Hok Gie yang Pernah Marah Kepada Istana
Selasa pagi, jenazah keduanya sampai di Gubuk Klalah dan dibawa ke Jakarta untuk disemayamkan.
Soe Hok Gie pernah berpesan, jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung.
Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Salam buku hariannya Soe Hok Gie pernah menuliskan:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV/Berbagai sumber