Jubir Pemerintah Jamin KUHP Baru Jaga Ruang Privat, tapi Pakar Hukum Singgung Aturan Kritik Presiden
Hukum | 10 Desember 2022, 07:18 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Jubir Tim Sosialisasi KUHP Albert Aries tidak sependapat dengan penilaian negara sudah masuk ke dalam urusan privat masyarakat dalam KUHP baru.
Hal ini mengacu pada aturan yang melarang persetubuhan bukan suami istri. Aturan ini tertuang dalam Pasal 411 KUHP soal perzinaan.
Albert menjelaskan KUHP baru ini mencerminkan ke-Indonesia-an, dan untuk menghormati nilai-nilai perkawinan KUHP baru telah mengubah bentuk UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Albert juga memastikan KUHP baru tetap menjamin ruang privat masyarakat. Aturan soal persetubuhan bukan suami istri merupakan delik aduan yang tidak sembarang orang bisa melaporkan.
Baca Juga: Penjelasan Istana Soal Perzinaan Bukan Suami Istri Kena Pidana di KUHP Baru
"Jadi tidak ada proses hukum tanpa ada pengaduan dari pihak yang berhak," ujar Albert di program Dua Arah KOMPAS TV, Jumat (9/12/2022) malam.
Albert menilai banyaknya kritik terhadap aturan perzinaan termasuk dunia internasinal. Menurutnya hal tersebut muncul karena informasi yang tidak lengkap.
Semisal informasi yang menyatakan pasangan bukan suami istri menginap di hotel bisa dipenjara.
"Itu informasi dan pemberitaan yang menyesatkan dan keliru. Karena KUHP baru tidak pernah memasukkan syarat tambahan administrasi untuk menanyakan status perkawinan kepada seseorang yang mau menginap di hotel," ujar Albert.
Baca Juga: Interupsi Paripurna RKUHP, Anggota DPR F-PKS Iskan Qolba Lubis Minta Maaf
Banyak pasal baik tapi tidak sedikit pasal buruk di KUHP baru
Di kesempatan yang sama Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengakui banyak pasal yang baik di KUHP baru, tapi tidak sedikit juga pasal yang buruk dan bisa menimbulkan ancaman di masyarakat. Terutama soal relasi negara dengan warga negara.
Relasi negara dengan warga negara ini yang dimaksud seperti aturan mengenai kritik terhadap pemerintah.
Feri memberi contoh, dirinya tidak ingin presiden dilukai secara fisik, tapi dirinya juga tidak menginginkan presiden tidak bisa dikritik dan memberi saran kepada kepala negara dimaknai sebagai penghinaan.
"Ini kan ada semacam keanehan dalam pembentukan UU. Kita tidak berharap KUHP baru ini jadi seperti produk kolonial lama di mana kita sebagai warga negara ketiga kalau memberikan saran dan masukan malah dipidana," ujar Feri.
Senada dengan Feri Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar mengingatkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEne) masyarakat yang dilaporkan hingga dipidana justru datang dari penguasa.
"Jadi jabatan itu memang harus di kritik, dan penghinaan itu hanya kepada orang bukan kepada jabatan," ujarnya.
Adapun aturan terkait tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden tertuang dalam Pasal 217 hingga 220 KUHP baru.
Kemudian penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga Negara tertuang dalam Pasal 240 hingga Pasal 241 KUHP baru.
Baca Juga: Ini Penjelasan Wamenkumham Soal Pasal Menyerang Harkat Martabat Presiden, Wakil dan Lembaga Negara
Pasal 217
Setiap Orang yang menyerang diri Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 218
Ayat (1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ayat (2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 219
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 220
Ayat (1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
Ayat (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 240
Ayat (1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Ayat (2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ayat (3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Ayat (4) Aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.
Pasal 241
Ayat (1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan
sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ayat (2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ayat (3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Ayat (4) Aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.
Penulis : Johannes Mangihot Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV