> >

Anggota Komisi III Pastikan Penanganan Perkara Pemberitaan Tak Gunakan KUHP tapi UU Pers

Hukum | 8 Desember 2022, 07:00 WIB
Taufik Basari menyebut perkara tentang pemberitaan tidak akan menggunakan pasal yang ada di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi mengikuti mekanisme di undang-undang pers. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Perkara tentang pemberitaan tidak akan menggunakan pasal yang ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi mengikuti mekanisme di Undang-Undang Pers.

Penjelasan itu disampaikan oleh Taufik Basari, Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dalam Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (7/12/2022), menanggapi kekhawatiran pers dapat dijerat dengan pasal penyebaran berita bohong.

Taufik mengatakan, penyebar berita bohong harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.

“Jelas, ketika kemudian ada penyebaran berita bohong, yang kemudian berakibat pada kerusuhan, menurut saya harus ada pertanggungjawaban pidananya,” kata Taubas, sapaan akrabnya.

Namun, dalam konteks pers atau pemberitaan, ada aturan berupa undang-undang yang bersifat lex specialis atau khusus, yakni undang-undang tentang pers.

Baca Juga: Dewan Pers Sayangkan Pengesahan UU KUHP: Ancam Kemerdekaan Pers dan Demokrasi

“Dalam konteks pers, kita kan ada lex specialis, ada Undang-Undang Pers, yang memang diakui dalam KUHP baru kita ini,” tegasnya.

“Yang nanti akan ikut dengan mekanisme dan prosedur dalam Undang-Undang Pers.”

Menjawab pertanyaan Budiman Tanuredjo, pembawa acara Satu Meja The Form, tentang untuk apa pasal itu dibuat, Taubas menyebut, pasal itu dibuat untuk menjerat orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

“Agar jangan ada orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang yang punya niat jahat, untuk menyebarkan berita bohong, yang pada akhirnya menimbulkan kesalahpahaman dan kerusuhan.”

“Kan itu tetap ada mens rea-nya, ada kehendak jahatnya dan menimbulkan kerugian, maka dari itu harus ada yang bertanggung jawab,” tegasnya.

Ia juga menegaskan bahwa pasal tersebut bukan dibuat untuk menjerat jurnalis dan pers, tetapi untuk semua orang.

“Misalnya ada kaitannya dengan pers, tetap harus melewati mekanisme yang ada dalam Undang-Undang Pers,” tegasnya.

Sementara, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mencontohkan kasus yang melibatkan atau berhubungan dengan pers, dan tetap dijerat dengan UU ITE.

“Saya ambil contoh dalam soal pers. Sekarang, sebelum ada hukum pidana yang baru, kita punya hukum pidana yang lama, dan kita punya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).”

“Dalam sejumlah kasus, misalnya di Sulawesi atau di Kalimantan, jurnalis dikenakan pasal pidana dan pasal UU ITE,” tuturnya.

Sebagai argumentasi pembelaan di pengadilan, lanjut dia, kita bisa menggunakan asas lex specialis, bahwa hukum yang spesial, yang khusus untuk mengatasi hukum yang umum.

Baca Juga: Masih Ada Pasal di RKUHP yang Bermasalah, Masa Peralihan Akan Alot Karena Multitafsir?

Tapi, meskipun nantinya yang bersangkutan bebas dari jeratan hukum, mereka tetap saja harus menjalani penahanan pada awal proses hukum.

“Tapi itu tidak ada jaminan. Orang sudah terlanjur ditahan, dipenjara.”

“Katakanlah di Mahkamah Agung nanti dibebaskan, tapi perampasan kemerdekaan pada awal-awal proses hukum itu, itu yang sebenarnya terjadi,” ucapnya.

 

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU