> >

Kisah Pilu Pasien Gagal Ginjal: Kaki Dibor untuk Obat, Antidotum Datang Setelah Pasien Meninggal

Kesehatan | 24 November 2022, 12:51 WIB
Ilustrasi gagal ginjal akut pada anak. (Sumber: Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Kuasa hukum 12 keluarga korban gagal ginjal akut, Awan Puryadi,  mengungkapkan, orangtua korban kecewa dengan lambannya pemerintah menangani kasus tersebut.

Dikutip dari tayangan YouTube Kompas.com, Kamis (24/11/2022), Awan menyebut para orangtua kehilangan anak mereka dalam hitungan hari sejak masuk ke rumah sakit.

"Ibu ini kehilangan dengan cepat anaknya itu membuat kita merasa, 'waduh ini kejadian luar biasa sekali'," kata Awan.

Bahkan ada seorang anak yang tulang kakinya harus dibor, guna memasukkan obat-obatan.

"Ada yang masih 8 bulan kalau enggak salah ya, yang itu pada saat sakitnya karena tidak bisa dimasukkan cairan, sampai dibor di kakinya, di tulangnya, untuk dimasukkan obat-obat yang diperlukan," ujarnya.

Baca Juga: Investigasi Kasus Gagal Ginjal Banyak Kendala, Ketua TPF BPKN: Kalau Sudah, Kami Lapor ke Presiden

Para orangtua yang menjadi klien Awan juga kecewa, karena obat penawar atau antidotum Fomepizole terlambat datang ke Indonesia. Banyak di antara mereka yang baru mendapat informasi soal Fomepizole, setelah anaknya meninggal.

Awan menuturkan, para korban hanya menjalani pengobatan sampingan, bukan pengobatan utama menggunakan obat-obatan. Sehingga keluarga korban terkejut ketika mengetahui pemerintah mendatangkan obat penawar dari luar negeri.

"Terkejut saja, kok tiba-tiba antidotum-nya datang, sebelumnya enggak datang. Ini juga membuat korban ini kecewa banget, kenapa kok sampai terjadi seperti itu?" ucap Awan.

"Katanya, kalau korban yang datang ke rumah sakit, komunikasi dengan dokter, ini (penyakit) baru. Tetapi, setelah mereka berjalannya waktu, ada antidotum," lanjutnya.

Baca Juga: Dinilai Lalai dalam Pengawasan Obat, Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Gugat BPOM dan Kemenkes!

Fomepizole adalah obat langka yang harganya juga mahal. Yakni Rp12 juta per vial. Kemenkes mendatangkan sekitar 200 vial dari sejumlah negara. Jumlah itu lebih sedikit dari pasien yang menderita gagal ginjal, yang berjumlah lebih dari 300 orang.

Fomepizole juga harus dibagikan ke seluruh rumah sakit pemerinyah di Indonesia. Sehingga pasien yang mendapatkan obat Fomepizole adalah pasien dengan kondisi tertentu, berdasarkan penilaian dokter.

Awan mengatakan, kliennya merasa penyakit gagal ginjal akut pada anak seolah dibiarkan. Karena itulah mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Ini yang kita ungkap bersama-sama dengan korban, dari hasil penelusuran itulah korban merasa harus ada upaya yang lebih makanya gugatan dilayangkan," sebutnya.

Ada 9 pihak yang digugat oleh 11 orangtua korban. Tergugat pertama adalah adalah PT Afi Farma. Alasannya, 11 anak dari 12 orangtua yang menggugat memberikan parasetamol sirup produksi PT Afi Farma. 11 anak tersebut sudah meninggal usai didiagnosis gagal ginjal akut oleh dokter.

Baca Juga: Kepala BPOM Enggan Jawab Desakan Mundur, Sebut Tak Kecolongan Soal Gagal Ginjal Akut Anak

Lalu, tergugat kedua adalah PT Universal Pharmaceutical Industries. Perusahaan farmasi ini menjadi tergugat kedua karena ada satu orang anak yang mengonsumsi Unibebi Cough Syrup sampai menjalani perawatan hingga kini.

Pihak tergugat ketiga hingga ketujuh adalah pemasok bahan kimia ke industri farmasi, secara berurutan PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, dan PT Mega Setia Agung Kimia. Lalu, tergugat delapan adalah BPOM dan tergugat sembilan adalah Kemenkes.

Dalam petitum gugatan, para orangtua meminta ganti rugi Rp 2,05 miliar per orang meninggal dan Rp 1,03 miliar per orang sakit.

Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas.com


TERBARU