TPF Aremania: Tragedi Kanjuruhan Bukan Kerusuhan, tapi Tindak Kekerasan Berlebihan secara Sistematis
Peristiwa | 16 Oktober 2022, 02:05 WIBMALANG, KOMPAS.TV - Tim pencari fakta (TPF) yang dibentuk Aremania menemukan bahwa Tragedi Kanjuruhan tidak layak disebut sebagai kerusuhan, tetapi tindak kekerasan berlebihan yang dilakukan secara sengaja oleh aparat polisi dan TNI secara terstruktur dan sistematis sesuai rantai komando. TPF Aremania pun menyebut peristiwa tragis itu sebagai pembunuhan massal menggunakan gas air mata polisi.
"Bahwa bentuk tindak kekerasan yang paling mematikan adalah penembakan gas air mata oleh personel Brimob dan Sabhara yang diduga kuat di bawah perintah perwira di lapangan dan sepatutnya diduga di bawah kontrol perwira tertinggi di wilayah Polda Jatim," demikian rilis TPF Aremania yang diterima Kompas TV, Jumat (14/10/2022).
Menurut TPF Aremania, terdapat 11 kali tembakan gas air mata yang dilakukan tujuh personel berbeda di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober lalu. Tindak penembakan ini kemudian memicu kekacauan yang merenggut 132 nyawa dan melukai ratusan lainnya.
Baca Juga: TPF Aremania Sebut Pihak Keamanan Sudah Diperingatkan soal Larangan Penggunaan Gas Air Mata
Sebelum partai Arema vs Persebaya, TPF menyebut telah terjadi rapat koordinasi sebanyak empat kali antara panitia pelaksana, manajemen Arema FC, komunitas Aremania, kepolisian, dan pihak-pihak terkait. Dalam rapat itu, telah disepakati bahwa aparat keamanan tidak menggunakan gas air mata.
Aparat juga menyebut sepakat untuk tidak melakukan tindak represif atau kekerasan terhadap suporter Arema. Sebaliknya, pihak suporter berkomitmen untuk tidak melakukan aksi sweeping terhadap kendaraan plat L.
Akan tetapi, TPF menemukan bahwa personel Brimob dan sejumlah personel Sabhara Polres Malang dipersenjatai gas air mata sejak awal.
"Personel Brimob diduga menggunakan multi-smoke projectile yang satu selongsong bisa meletuskan sampai lima proyektil, dan personel Sabhara diduga menggunakan gas air mata single amunisi," tulis TPF Aremania.
TPF menyebut suporter yang turun ke lapangan usai pertandingan sebagai "tradisi yang sudah biasa dilakukan". Namun, hal ini justru direspons aparat keamanan dengan tindak kekerasan dan tembakan gas air mata.
"Personel Brimob pertama kali menembakkan gas air mata pada jam 22.08 yang diarahkan ke tribun selatan. Dan selanjutnya secara bertubi-tubi, tembakan (gas) air mata dilakukan sebanyak setidaknya 11 kali oleh tujuh orang yang berbeda. Penembakan berakhir pada jam 22.15," tulis TPF Aremania.
Berdasarkan keterangan saksi dan rekaman kejadian, TPF Aremania menyimpulkan bahwa personel Brimob dan Sabhara melakukan tindak kekerasan dengan sepengetahuan perwira kepolisian yang memimpin di lapangan.
Berdasarkan kesimpulan yang didapat, TPF Aremania pun mendesak pemeriksaan menyeluruh kepada seluruh personel dan perwira polisi yang bertanggung jawab saat Tragedi Kanjuruhan, termasuk Kapolda Jatim ketika peristiwa tragis itu terjadi.
TPF juga menuntut Komnas HAM melakukan penyelidikan pro justitia atas dugaan kejahatan kemanusiaan dalam tragedi 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan.
Terakhir, TPF mendesak dilakukannya autopsi ke semua korban tragedi dan menuntut negara memulihkan kerugian seluruh korban, baik material atau imaterial.
Baca Juga: TGIPF Bakal Serahkan Temuan Tragedi Kanjuruhan kepada Presiden FIFA
Sebelumnya seperti diberitakan Kompas.TV, perwakilan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang tergabung dalam TPF Aremania menyampaikan hasil investigasi mereka terkait Tragedi Kanjuruhan, Jumat (14/10).
TPF Aremania menemukan bahwa pihak keamanan sudah diperingatkan mengenai larangan penggunaan gas air mata jauh hari sebelum pertandingan. Namun, pihak keamanan tetap menembakkan gas air mata pada hari H pertandingan.
KontraS juga menemukan fakta bahwa kontrol petugas pengamanan dari personel Polri pada pertandingan itu bukan menjadi tanggung jawab panpel, tetapi di bawah rantai komando kepolisian.
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV