Ahli Paru Sebut Dampak Gas Air Mata secara Umum Tidak Mematikan, tapi Ada Kasus Korban Meninggal
Peristiwa | 11 Oktober 2022, 19:38 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Dampak dari gas air mata secara umum memang tidak mematikan, tetapi ada sejumlah kasus yang menyebabkan korban meninggal dunia.
Penjelasan itu disampaikan oleh Erlina Burhan, Dokter Spesialis Paru RSUP Persahabatan dalam dialog Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Selasa (11/10/2022).
“Secara umum, gas air mata ini tidak mematikan, tetapi ada kasus-kasus yang memang meninggal, walaupun jarang,” jelasnya.
“Itu yang ada laporannya ada dari Bahrain satu kasus, dari Amerika satu kasus, dan kasus terakhir tahun 2018 itu dari Irak,” terangnya.
Erlina menambahkan, penyebab gas air mata mengakibatkan kematian adalah terjadinya kekurangan oksigen pada korban atau orang yang menghirup.
Baca Juga: Kutip Ahli Kimia dan Persenjataan, Polri Sebut Gas Air Mata Tidak Mematikan Meski dalam Skala Besar
Kekurangan oksigen yang terjadi pada tubuh, kata dia, dapat menyebabkan organ-organ mengalami hal yang sama, termasuk kekurangan oksigen di otak.
“Terjadi kekurangan oksigen yang menimbulkan organ tubuh kekurangan oksigen juga, terutama otak. Dan orangnya dirawat, tapi tidak tertolong.”
Ia menjelaskan, dampak dari gas air mata terhadap seseorang sangat tergantung pada empat hal, yakni kondisi lingkungan, kadar atau konsentrasi yang terhirup, waktu atau durasi saat menghirup gas air mata, dan kondisi kerentanan korban.
“Jangan lupa, kerentanan seseorang, apakah dia penderita asma atau bukan.”
“Tapi yang jelas, secara teori, zat kimia yang terdapat pada gas air mata atau cs itu akan menimbulkan iritasi,” tegasnya.
Iritasi itulah yang kemudian bisa memicu timbulnya inflamasi atau peradangan di saluran nafas, dan menyebabkan mukosa saluran napas kemerahan serta sembab atau bengkak.
Kondisi itu, kata dia, menimbulkan rasa perih yang sangat, dan batuk.
Jika kondisi itu terjadi secara terus-menerus pada orang yang mengidap asma, dapat mengakibatkan penyempitan saluran napas.
“Maka akan terjadi penyempitan saluran nafas sehigga dia susah bernapas, dan juga oksigen yang masuk berkurang, jadi kemudian terjadi gejala kekurangan oksigen. Salah satu gejala kekurangan oksigen adalah rasa lemas.”
Ia menambahkan, pada penderita asma atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), hal ini akan berbahaya karena akan mengiritasi, menimbulkan proses peradangan atau inflamasi, dan saluran napas menyempit.
“Jadi, kalau sudah terjadi penyempitan saluran napas karena inflamasi atau peradangan tadi, maka yang pertama kali kita berikan adalah oksigen, karena orangnya menjadi kekurangan oksigen,” jelasnya.
Selanjutnya, kata dia, diatasi peradangannya dengan pemberian steroid, atau diberikan obat-obat untuk melegakan atau melebarkan saluran nafas.
Biasanya itu dilakukan dengan inhalasi atau memakai nebulizer.
Jika inflamasi yang dialami masuk dalam kategori ringan, pemberian oksigen disebutnya sudah cukup.
“Gas air mata ini kan juga banyak disemprotkan pada saat menghalau massa demonstrasi, kan juga nggak ada yang meninggal, karena kan di ruang terbuka, dan langsung orang berlari dengan bebas, sehingga konsentrasi yang terhirup juga sedikit.”
Baca Juga: Jenguk Anak Korban Tragedi Kanjuruhan, Kak Seto: Masih Perlu Pendampingan Psikologis
Bahkan, kata dia, sebenarnya dampak dari gas air mata tersebut bisa sembuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
Tapi, ia menegaskan, dampak yang akan terjadi sangat dipengaruhi oleh keempat faktor yang telah ia sebutkan sebelumnya.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV