Tragedi Kanjuruhan: Kesaksian Lima Penyintas, Ada yang Terinjak-Injak dan Pasrah di Gate 13
Peristiwa | 7 Oktober 2022, 13:59 WIBDuduk di tribune VIP.
Melihat jenazah yang dibawa ke lorong VIP dan ikut membantu korban.
Saya duduk di tribune VIP, yang kena gas air mata itu tribune timur dan utara. Kebanyakan ke tribune selatan, timur, dan di utara.
Yang diarahkan ke lapangan itu satu kali, tapi langsung ada empat titik asap. Dari lapangan, yang kedua saya lihat ditembakkan ke tribune 8, tribune timur. Massa yang di lapangan langsung bubar, jadi nggak ditembakkan lagi.
Massa merangsek naik lagi, setelah itu ditembakkan bertubi-tubi di tribune 13, 14, di utara. Tapi yang paling parah di tribune 13 dan 14, soalnya penembaknya di dekatnya tribune 14, polisi yang membawa senjatanya itu.
Saya melihat langsung sampai habis. Ada lebih dari 5 tembakan.
Penembaknya itu di tribune 14, tapi asapnya itu sampai ke tribune VIP. Waktu itu masih ada keluarga pemain, tamu undangan juga masih ada, mereka menyelamatkan diri ke atas, ke arah toilet VIP.
VIP itu kan dekat dengan tim medis, dekat ambulans. Di tribune VIP banyak korban yang sudah dijejer-jejer.
Ada yang masih kejang-kejang, ada yang sudah biru mukanya. Yang saya lihat waktu itu ada lima, satu polisi sudah tidak ada umurnya juga. Masih pakai seragam tapi sudah ditutupi spanduk.
Awalnya yang rusuh itu kan masih di dalam lapangan, yang di atas (tribune) kan memang nggak ada kaitan sama rusuh, mereka juga mau pulang, ya nggak ada kaitan sama rusuh sama sekali.
Tapi kenapa yang ditembak kok ke arah tribune? Padahal di tribune juga banyak cewek, banyak anak-anak.
Saya di situ kurang lebih sampai jam 3, karena juga membantu yang ada di lorong VIP. (Orang-orang) ada yang ngambilin air minum, karena kebanyakan korban kekurangan air.
Air itu udah bukan air bersih lagi. Maksudnya air dari keran, air dari botol-botol aqua, karena mukanya dan matanya panas. Jadi sebisa kami bantuin, apa saja.
Baca Juga: Cerita Saksi Tragedi Kanjuruhan: Korban Dijejer, Ada yang Masih Kejang, Ada yang Mukanya Sudah Biru
Dimas Bayu, penyintas
Duduk di tribune 13 bersama teman-temannya.
Selamat karena jatuh dari tangga menuju pintu keluar gate 13.
Keadaan di sana sangat berdesak-desakan, dari tribune sampai keluar stadion itu sudah tidak leluasa bergerak hanya berdesak-desakan mengikuti arus orang saja.
Posisi saya itu sudah sesak tidak bisa bernapas dan pasrah saja. Sementara orang di belakang disuruh mundur-mundur itu sudah tidak memungkinkan.
Jaket teman saya, saya pegang terus ke arah pintu sini (pintu 13). Jadi supaya keluarnya bareng. Saat tembakan gas air mata saya terpisah dengan dua teman saya yang lain jadi saya cuma berdua saja dengan teman saya yang satunya, dan jaketnya saya pegang terus. Jadi waktu jatuh pun kami berdua.
Saya selamat dari situ karena jatuh dari pagar yang berada di samping. Kalau itu bisa saya tidak jatuh sudah tidak tahu lagi nasib saya seperti apa.
Saking desak-desaknya terlalu kuat jadi akhirnya roboh. Tapi kalau itu pagarnya tidak roboh, saya tidak tahu lagi karena di depan saya itu orang-orang sudah berjatuhan.
Lalu saya juga sempat menolong salah seorang wanita yang sesak napas saat keluar ke sini. Habis itu saya beri minum dan saya keluar ke parkiran mencari teman-teman saya yang lain.
Banyak juga yang tergeletak waktu kejadian saya keluar itu saya tidak tahu apakah ada yang meninggal atau belum. Tapi banyak yang sudah tergeletak dan kondisinya saya tidak tahu.
Baca Juga: Saksi Mata Pintu 13 Stadion Kanjuruhan: Saya Selamat karena Jatuh dari Pagar
Aulia Rachman
Duduk di tribune 14 bersama teman-temanya.
Tak sadarkan diri setelah terinjak-injak di pintu keluar gate 13.
Saya sama teman tujuh orang di belakang pagar paling bawah. Saya pasang tulisan psywar dan jaga di sana. Di sebelah saya ada seorang ibu memberikan jajanan tahu.
Saat pertandingan berakhir, saya melihat satu-dua orang dari tribune saya turun ke lapangan. Petugas menangkap mereka. Lalu semakin banyak yang turun (ke lapangan).
Kemudian tribune 10 sampai 14 langsung empat tembakan (gas air mata). Di depan saya banyak asap, saya tidak kuat dan coba turun (ke tangga keluar stadion).
Pas turun saya kira cuma turun biasa, tidak tahunya banyak yang turun. Ibu-ibu kan baru pertama kali merasakan gas air mata, mereka panik ingin cepat-cepat keluar stadion, desak-desakan.
Pas (di bagian) datar ada yang jatuh, lalu ketimpa dari atas dan macet di situ. Padahal ke bawahnya ke tangga tidak ada apa-apa. Jadi menumpuk di tengah.
Orang di bawah saya tanya, "Mas bisa agak longgaran sedikit?".
Saya jawab, "Wah tidak bisa mas, di belakang tambah parah. Saya buat gerak badan saja tidak bisa."
Rasanya saat itu, seperti bernapas di air, susah. Sedetik napas, ambilnya (udara) sakit. Saya pasrah, kalau mati di sini tak apa-apa. Saya tengkurap, masih sadar, banyak orang injak-injak di atas saya.
Saat itu saya masih sadar, di bawah saya ada orang, di bawah ada lagi, dan lagi. Saya lihat yang paling bawah (tumpukan) sepertinya sudah meninggal, pucat mukanya, anak remaja.
Aulia pingsan beberapa saat dan sadar saat pipi kanannya ditampar oleh orang yang mengenakan seragam tentara dan memberinya minum.
Lalu datang seorang teman bilang, "Ini Yayak? Kamu ora popo? (Kamu tidak apa-apa?)".
Saya jawab, "Sikilku ra iso gerak" (Kakiku tidak bisa bergerak).
Aulia lalu menoleh ke kiri dan kanan. Ia melihat banyak orang terbaring di sebelahnya.
Banyak mayat, saya tidak kuat, sedih. Saya minta teman tolong keluarin dari sini. Saya dipanggul ke luar stadion dan dibawa ke tempat kopi.
Saat orang tua jemput, mereka bersyukur karena saya masih hidup. Mereka tidak marah. Soalnya di kampung cuma saya yang belum ketemu, teman lain sudah di rumah.
Ia mempertanyakan penembakan gas air mata ke arah tribune saat itu.
Kan tidak ada yang salah di tribune? Perasaan saya campur aduk, trauma. Banyak yang meninggal, kok bisa seperti ini terjadi? Sebelumnya tidak pernah.
Baca Juga: Komnas HAM Sebut Ada Indikasi Pelanggaran HAM dalam Tragedi Kanjuruhan, Penanggung Jawab Diselidiki
Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV, Kompas.com