Pengakuan Seorang Bidan: Sedih Saksikan ASI Terbuang Sia-sia Sementara Susu Formula Dijejalkan
Gaya hidup | 30 September 2022, 11:10 WIBKLATEN, KOMPAS.TV – Ratna Dewi Kumalasari (36), seorang bidan yang mendorong untuk memberikan ASI eksklusif ketimbang susu formula kepada para pasiennya. Hal itu dilakukan bukan tanpa sebab.
Berbagai pengalaman yang membuatnya menyadari pentingnya ASI eksklusif. Panggilan untuk mendorong ASI eksklusif semakin menguat setelah dia bergabung dengan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Solo.
Ratna lahir dari keluarga bidan. Ia terbiasa melihat berbagai fasilitas dari produsen susu formula untuk bidan yang membantu penjualan produk.
Mulai dari kipas angin, lemari pendingin, tempat tidur pasien, hingga biaya umroh dan wisata keluar negeri ditawarkan sales susu formula. Hal itu kemudian membuat pandangannya bahwa menjadi bidan sangatlah enak.
Hingga kemudian, saat bekerja di rumah sakit bersalin membuat nuraninya bergolak dan mempertanyakan kenapa pemberian ASI eksklusif tidak diutamakan.
Hal itu berawal dari setelah lulus sekolah kebidanan di Surabaya, Jawa Timur, Ratna bekerja di rumah sakit ibu dan anak. Di rumah sakit itu, ia menyaksikan susu formula dijejalkan ke mulut bayi-bayi lewat botol-botol susu.
Padahal, sebenarnya ada keluarga pasien yang ingin memberikan ASI untuk diberikan pada bayinya. Sering ia menyaksikan ASI yang sudah diberikan terbuang sia-sia.
“Rasanya mengganjal sekali,” katanya di Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah, Minggu (4/9/2022), dikutip dari Kompas.id.
Baca Juga: Pergizi Sebut Susu Formula Tak Boleh Diberikan kepada Bayi Umur 0-6 bulan
Kemudian, setelah mengikuti pelatihan konselor ASI, ia pindah dari Sidoarjo ke Sukoharjo dan membuka praktik bidan mandiri. Di tempat praktiknya, Ratna membantu ibu yang mengeluh ASI-nya tidak lancar atau bayi tidak mau menghisap puting susu ibu.
“Banyak pasien saya yang diberi susu formula di tempat yang tidak pro-ASI. Saat bayi diberi susu formula sebelum ASI, biasanya bayi tidak mau lagi menyusu ASI. Butuh kemauan dan kesabaran agar mau diberi ASI. Sering gagalnya di situ,” ungkapnya.
Di tempat praktiknya tak terlihat kemasan susu formula, kalender, atau poster pengukur tinggi badan berlogo susu formula. “Sejak praktik tahun 2012, saya tidak pernah memberi susu formula untuk pasien,” ujar Ratna.
Kesal saat akan pelatihan laktasi
Pengalaman yang mengubah pola pikir soal pentingnya ASI juga dialami Sri Budiati (56). Tepatnya saat gempa 2006 di Klaten, Jawa Tengah, menjadi titiknya untuk akhirnya mendukung penuh ASI eksklusif.
Dalam suasana berkabung ditinggal putri sulungnya karena gempa, ia diminta mengikuti pelatihan konselor laktasi dengan pelatih Sentra Laktasi Indonesia.
“Hati saya belum terima. Masa bidan yang sudah praktik belasan tahun, diajari menyusui. Saya merasa lebih tahu,” katanya.
Materi laktasi itu salah satunya soal inisiasi menyusu dini (IMD), yaitu menempelkan bayi yang baru saja lahir, belum dibersihkan, di dada ibu selama minimal 30 menit sampai 1 jam. Bayi yang menerima IMD secara benar akan mencari puting untuk menyusu dengan sendirinya.
Belasan tahun menjadi bidan, ia tak tahu mengenai IMD. Habis membersihkan bayi yang baru lahir, ia tidak melakukan proses penempelan di dada ibu tapi langsung memberi susu formula.
“Waktu itu sih kasihan gitu sama bayi yang menangis. Sementara susu ibu biasanya belum lancar di awal melahirkan. Ternyata ASI itu memang keluar sesuai kebutuhan bayi,” ungkapnya.
Sampai dalam suatu waktu, saat menolong persalinan, dia mempraktikkan IMD. Setelah 24 menit, bayi yang masih basah itu mulai mencari puting ibunya dan mencoba menyusu. “Saya menangis terharu,” ujarnya.
Pengalaman itu mengubah keyakinannya. Tempat praktiknya yang dulu menyediakan susu formula, sekarang penuh alat peraga menyusui dan stiker menolak agen susu formula di pintu masuk klinik.
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas.id