Jelang Pemilu, Parpol Dinilai Mulai Gerakkan Mesin Partai dengan Playing Victim, Apa Itu?
Rumah pemilu | 24 September 2022, 10:48 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Partai politik dinilai mulai gerakkan mesin politik mereka untuk menaikkan elektablitas dan perbincangan publik jelang Pemilu 2024.
Mulai dari polemik hingga urusan menjadikan tokoh atau partai mereka sebagai korban politik atau playing victim.
Hal itu diungkapkan oleh Muhammad Hanifuddin dari The Political Literacy tentang mulai ‘panas’nya beberapa partai politik jelang Pemilu 2024 mendatang.
Ia lantas menyebut beberapa contoh, polemik Ketua Umum di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), isu capres-cawapres Prabowo-Muhaimin, adanya dari saling lempar kritik antara Demokrat vs PDI P.
Belum lagi isu terkini terkait Dewan Kolonel vs Dewan Kopral yang menyeret Puan Maharani dan Ganjar Pranowo hingga pidato tokoh politik senior Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Seperti diketahui, SBY dalam peryataan menyebut ada indikasi dugaaan kecurangan pemilu 2024 hingga membuat pihaknya akan turun gunung.
Pernyataan itu mendapatkan sorotan dan jadi polemik, serta ditanggapi parpol-parpol besar.
Hal-hal itu, kata Hanif, sangat terkait dengan upaya menggerakkan mesin partai jelang.
Termasuk penggunaan citra sebagi korban politik atau playing victim dalam upaya parpol memanaskan mesin partai mereka agar jadi perbincangan publik.
“Playing victim adalah salah satu strategi komunikasi politik untuk mendapatkan simpati massa. Dengan cara menempatkan diri (parpol) sebagai korban (politik),” papar Hanif kepada KOMPAS.TV, Jumat (24/9/2022) malam.
"Martina Berrocal, dalam analisisnya yang berjudul "Victim Playing as Form of Verbal Agression in The Czech Parliament" (2017) menegaskan bahwa playing victim dapat menimbulkan dampak retoris. Pertama, mendelegitimasi perilaku lawan politik. Kedua, mendulang simpati massa," sambungnya.
Baca Juga: Pengamat: Dewan Kopral adalah Satir Politik Ganjar Tak Didukung Elite Partai
Lalu, lanjut Hanif, parpol lantas menunjukkan diri mereka ke publik sebagai korban atas sistem. Sistem yang seolah sengaja dibentuk untuk menjatuhkan lawan politik.
"Di antara langkah teknis playing victim adalah politisi ataupun partai politik akan massif menarasikan bahwa dirinya sebagai korban. Membangun opini publik bahwa telah terjadi kezaliman kepada satu pihak," paparnya
"Karena itu, jika ada politisi ataupun partai politik yang gencar menarasikan merasa dijegal, dijatuhkan, ataupun dihalangi, maka harus dilihat secara objektif. Masyarakat harus selektif dan objektif. Jangan mudah percaya kepada narasi yang digaungkan politisi," sambungnya.
"Jika tidak, politisi terkaitlah yang akan diuntungkan. Yakni menaikan citra dan suara dirinya ataupun partainya. Di titik inilah, literasi politik warga negara perlu diasah dan ditingkatkan," tambah dia.
Baca Juga: Dewan Kopral vs Dewan Kolonel, Pengamat: Perang Terbuka Pendukung Puan dan Relawan Ganjar
Tindakan Manipulatif, Mainkan Emosi
Hanif lantas menjelaskan, upaya yang dilakukan parpol dengan bicara seolah menjadi korban adalah tindakan manipulatif.
"Dari paparan (parpol naikkan mesin politik) dengan playing victim adalah tindakan manipulatif. Membuat ataupun membesar-besarkan hal yang sebenarnya tidak ada ataupun tidak seberapa ada," paparnya.
Ia menyebutkan, dalam demokrasi, cara menaikkan citra dengan seolah jadi korban misalnya, pada dasarnya tidak sehat.
Parpol dinilai harus berani beradu ide dan gagasan. Sebab, hal itu kata Hanif bisa jadi indikator demokrasi berlangsung sehat dan bisa jadi cara untuk menaikkan literasi politik bagi publik.
"Dalam konteks penguatan demokrasi, playing victim adalah strategi yang tidak sehat. Bersaing merebut suara rakyat tidak secara legal-rasional tetapi lebih pada mengaduk simpati dan emosi. Tidak berani adu ide dan program secara elegan, objektif, dan transparan," tutupnya.
Penulis : Dedik Priyanto Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV