Ibu yang Tuntut Legalisasi Ganja Medis ternyata Pernah Tolak Minyak Cannabis
Kompas petang | 27 Juni 2022, 18:41 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Seorang ibu bernama Santi Warastuti berharap Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan ganja untuk pengobatan anaknya, setelah gugatannya dua tahun tanpa kepastian.
Santi mengatakan, perjuangannya untuk mengupayakan legalisasi ganja dimulai pada tahun 2020.
“Perjuangan kita untuk maju itu dimulai tahun 2020. Kita sudah memasukkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi bulan November 2020,” jelasnya dalam dialog Kompas Petang, Kompas TV, Senin (27/6/2022).
“Sampai saat ini kan sudah dua tahun, jadi saya hanya memohon agar diberikan kepastian hukum legalisasi ganja medis untuk pengobatan anak saya,” katanya.
Gugatan penggunaan ganja untuk medis, menurut Santi, bermula saat dirinya masih bekerja di Bali pada tahun 2015 lalu.
Baca Juga: Viral Seorang Ibu Butuh Ganja Medis Untuk Anaknya, Begini Respons DPR
Saat itu, awal anaknya mengalami sakit, dan didiagnosisi epilepsi.
“Waktu anak saya, Fika, mulai sakit itu saya pernah ditawari oleh bos saya, waktu saya masih kerja di Bali, mau dibawakan cannabis oil dari luar negeri untuk pengobatan epilepsi,” tuturnya.
“Karena waktu itu yang muncul pertama epilepsi,” ungkapnya.
Tapi, waktu itu Santi menolak tawaran tersebut, karena pengobatan menggunakan bahan ganja di Indonesia belum legal.
Tahun demi tahun berlalu, Santi pun berkenalan dengan seorang ibu lain yang anaknya menjalani terapi ganja di Australia.
"Beliau melakukan terapi ganja medis di Australia, dan perkembangannya sangat signifikan,” tuturnya.
“Itu yang membuat saya juga ingin memberikan yang terbaik buat anak saya, seperti yang dia berikan, dan bisa diberikan di Indonesia secara legal,” harapnya.
Menanggapi hal itu, Prof Zubairi Djoerban, Konsultan Hematologi Onkologi Medik mengatakan, panduan penggunaan ganja sebagai bahan pengobatan di Australia cukup jelas.
“Kalau di Australia jelas sekali guidance-nya, dipakai memang untuk epilepsi, kemoterapi, maksudnya efek kemo kemudian mual, muntah. Kemudian untuk penyakit nyeri menahun,” tuturnya.
“Namun, jelas sekali ditulis bahwa ini bukan obat primer. Jadi, saat ini sudah ada obat lain untuk berbagai penyakit tersebut,” ujarnya.
Artinya, lanjut dia, ganja untuk pengobatan hanya sebagai opsi tambahan di Australia.
“Jadi intinya, penyakit-penyakit tersebut obatnya sudah ada di apotek. Begitu pula dengan penyakit kanker dengan nyeri menahun, penyakit multiple sclerosis, dan juga yang lain, sudah ada obat yang tersedia saat ini,” tuturnya.
Dia juga menjelaskan, pada awal Rumah Sakit Kanker Dharmais berdiri, ada tim untuk nyeri kanker, dan di situ jelas sekali bahwa pengobatan nyeri kanker yang disetujui oleh WHO sampai sekarang ada derajat-derajatnya.
Ia menyebut, pada mulanya nyeri kanker merupakakan nyeri yang amat hebat, nyeri kronik, nyeri menahun.
“Itu skalanya bisa maksimal. Kalau skala dari 0 sampai 10, itu bisa 8, 9, sampai 10,” katanya.
Tata laksana pengobatan untuk nyeri tersebut, lanjut dia, ada tahapannya.
“Misalnya parasetamol dulu, kalau nggak menolong parasetamol dengan kodein, kalau nggak menolong bisa dengan tramadol. Kalau tidak menolong juga, pada akhirnya adalah dengan morfin,” ucapnya.
Baca Juga: Aksi Ibu Carikan Obat Ganja untuk Anaknya yang Mengidap Cerebral Palsy Undang Simpati
“Jadi salah satu cara mengatasi nyeri kanker yang hebat, yang kronik, adalah dengan morfin. Itu sudah disetujui oleh seluruh dunia, oleh WHO dan semuanya,” tuturnya.
Namun, mengenai ganja untuk pengobatan, kata dia, banyak negara yang menerapkan aturan berbeda satu dengan lainnya.
“Kali ini kita tidak bicara mengenai morfin, tapi mengenai cannabis. Dalam hal ini memang beda-beda. Banyak negara yang berbeda dengan negara lain,” ungkapnya.
Ia menyebut sekitar 30 negara menyetujui ganja untuk pengobatan, tetapi lebih banyak yang tidak setuju penggunaanya untuk pengobatan.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV