Tersangka Ditahan tapi Bebas Tanpa Pengadilan, Kok Bisa?
Aiman | 27 Juni 2022, 14:10 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Ada sebuah fenomena baru dalam penegakan hukum di negeri ini. Tersangka kasus pidana bisa bebas tanpa masuk ke pengadilan. Memunculkan dua kekhawatiran, soal efek jera, dan kongkalikong alias suap hingga pemerasan di lingkup penegakan hukum. Meski di sisi lain, ada hal positif soal keluhuran keadilan yang tercermin dari sini.
Saya menyaksikan sendiri. Bahkan saya ikut menjemput dan ikut bersama Jaksa yang membebaskan seorang tersangka pencuri yang sudah diproses polisi hingga kejaksaan dan siap dilimpahkan ke pengadilan alias sudah P-21 kasusnya. Ia dalam posisi ditahan di Polsek Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
SAYA MELIHAT & IKUT MENEMANI PEMBEBASAN TERSANGKA
Kasusnya bermula dari sebuah pencurian di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat. Kala itu, Jimi Tamaka, mencuri telepon seluler yang baru dibeli dari seorang ibu. Lengkap ia mendapatkan beserta kardusnya dan perangkat lainnya. Namun tak lama setelah ia mencuri tanpa perlawanan dari korban, ia diteriaki maling! Sempat dihakimi massa, Jimi tersungkur dengan motornya dan diamankan oleh petugas keamanan hingga di bawa ke Polsek Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Dua bulan mendekam di tahanan Polsek, Jimi melalui proses penyidikan di polisi dan penuntutan di kejaksaan.
MENUNGGAK KONTRAKAN 3 BULAN & MENANGGUNG BALITA DAN 3 ANAK
Ia bercerita kepada saya. Ayah tiga anak, dengan yang terkecil masih berusia 2 dan 10 tahun ini. Ia bekerja menjadi tenaga pemasar alias salesperson di sebuah produk kecap, dengan upah Rp 1,5 juta per bulan. Meski sudah 3 bulan ia tidak menerima upah. Sementara kontrakannya di tepi sungai di Tambun Utara, Kota Bekasi, belum dibayar 3 bulan.
Pilihannya kala itu ia harus membayar Rp 1,8 juta atas tunggakan 3 bulan kontrakan (perbulan Rp 600 ribu), atau anak-anak dan istrinya tak lagi punya tempat tinggal. Gelap mata ia mencuri, hingga akhirnya dibui.
Lalu ia mengajukan proses restorative justice (RJ) alias keadilan restoratif. Prosesnya akhirnya disetujui pihak penuntut, dalam hal ini ditangani oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Lalu proses ini diteruskan dan akhirnya diputuskan pusat, Kejaksaan Agung.
SAYA IKUTI "SIDANG" DI KEJAKSAAN
Saya mengikuti proses "sidang" keputusan oleh Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Saya melihat bagaimana pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan diajukan, selain syarat Keadilan restoratif itu sendiri, yakni; baru pertama kali melakukan tindak pidana, hukuman tak lebih dari 5 tahun, kerugian maksimal 2,5 juta rupiah, dan yang terpenting dimaafkan oleh korban.
Setelah diputuskan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Jumhana, maka belenggu borgol dan rompi tahanan kejaksaan pada Jimi pun akhirnya dilepas. Saya melihat suasana begitu haru, dengan didampingi istri dan anak balitanya. Termasuk korban pencurian HP juga hadir dalam sidang itu. Tayangan lengkapnya di program AIMAN yang tayang setiap Senin pukul 20.30 WIB malam di KompasTV.
Satu tersangka yang siap jadi terdakwa urung dilakukan proses sidang. Sedianya Jimi terkena pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
LALU, BAGAIMANA DENGAN EFEK JERA & LAHAN BARU KORUPSI?
Meski ada kekhawatiran seperti yang diungkapkan pada survei Litbang Kompas pada awal tahun 2022 ini. Ada 76 persen responden mengaku khawatir akan pelaksanaan Keadilan Restoratif yang bisa membebaskan tersangka kasus pidana.
Ini sejalan dengan apa yang disampaikan pakar hukum pidana, Profesor Hibnu Nugroho pada program AIMAN.
"Ini yang kita khawatirkan. Karena jangan sampai di Indonesia itu, bagi yang punya uang (bisa) pasang badan, selesai."
"Nah, di sinilah makanya Jaksa Agung harus betul-betul responsif tentang permasalahan hukum di sini. Niatnya seperti apa? Korbannya seperti apa? Apakah meresahkan masyarakat, atau tidak? Jadi betul-betul, di samping para pihak itu ada selesai kedamaian, tapi masyarakat juga mendapatkan suatu ketenangan," kata Hibnu.
Sebagai informasi, sudah lebih dari 1.000 tersangka yang dibebaskan melalui proses Keadilan Restoratif oleh Kejaksaan Agung ini sejak sekitar 1 tahun lalu. Ada sisi positif yang bisa dilihat yakni efek samping dari pengurangan jumlah tahanan di Lapas dan Rutan yang memang sudah over capacity alias kelebihan penghuni. Selain juga menunjukkan sisi humanis penegakan hukum di Indonesia dengan mengedepankan hati nurani.
Meski di sisi lain, muncul pula kekhawatiran akan efek jera dan lahan baru bancakan oknum penegak hukum yang bermain mata dengan calon penerima proses keadilan restoratif
JAKSA AGUNG: JAKSA SALAHGUNAKAN, SAYA PECAT!
Soal kemungkinan kasus Korupsi dilingkup Kejaksaan Agung, Jaksa Agung , ST Burhanuddin yang saya wawancara terkait ini mengungkapkan jawaban atas pertanyaan saya, bagaimana bila ada Jaksa yang kongkalikong dengan tersangka untuk mendapatkan keadilan restoratif ini?
"Apabila (jaksa) betul menyalahgunakan RJ, saya akan tindak lebih tegas. Bila perlu saya pecat!" kata Jaksa Agung, ST Burhanuddin.
Bagaimanapun saya melihat ada nilai keluhuran keadilan dari proses keadilan restoratif ini. Hanya proses ini sekali lagi memiliki layaknya pisau bermata dua. Mutlak pengawasan harus terus dilakukan, agar tak jadi lahan baru bancakan.
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV