Jakarta 495 Tahun Silam, Kota Penghasil Lada, Sarang Buaya dan Malaria
Sosial | 22 Juni 2022, 05:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Hari Ini, 22 Juni 2022, Kota Jakarta genap berusia 495 tahun. Kelahiran Jakarta merujuk pada peristiwaa perebutan Pelabuhan Sunda Kelapa oleh Faletehan dari tangan Portugis pada 1527.
Setelah mengusir Portugis, ia menggganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti kota kemenangan.
Nama Faletehan didapat dari orang Portugis bernama Joao de Barros dalam bukunya yang berjudul "Decadas da Asia".
Willard A. Hanna dalam bukunya "Hikayat Jakarta" menuliskan, bahwa nama Sunda Kelapa tidak mengesankan. Oleh Faletehan diganti dengan Jayakarta (atau Jayakatra) "kota yang jaya".
Baca Juga: Nama Jalan di Jakarta Diubah dengan Nama Seniman Betawi, Ini Tanggapan Warga
Kondisi Jakarta kala itu, adalah sebuah pelabuhan dengan Sungai Ciliwung yang membentang dan bisa dilalui kapal-kapal. Namun sebagai sebuah kota pelabuhan, Jakarta sangat tidak nyaman untuk ditempati.
Hanna dalam bukunya menuliskan catatan awal para penjelajan asal Belanda.
"Kota ini dibangun seperti kota-kota lain di Pulau Jawa, yaitu rumah-rumahnya terbuat dari kayu dan anyaman banmbu. Konstruksinya buruk dan sangat kotor."
Meski demikian, Jakarta dialiri Sungai Ciliwung yang jernih.
"Sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih mengalir di tengah kota. Airnya segar dan menyenangkan. Tanahnya rendah namun indah dan selalu terbayang-bayang dalam pikiran kita".
Sungai Ciliwung yang cukup lebar memungkinkan dilalui kapal-kapal dagang dengan bobot muatan hingga 100 ton. Kapal-kapal dagang itu milik pedagang Melayu, Jepang, China dan berbagai kapal lain dari wilayah Timur Indonesia.
Jumlah penduduk di sekitar Sunda Kalapa kala itu sekitar 2000 kepala keluarga atau 100.000 jiwa. Tanah di sekitar tepian Ciliwung ditanami berbagai tanaman.
Namun, Sunda Kalapa juga dikenal karena rawa-rawanya yang dihuni berbagai binatang buas dan malaria.
"Wilayah sekitar Sunda Kelapa terutama terdiri dari tanah rawa dan hutan berlukar. Buaya, ular sanca, badak, gajah, harimau dan banteng, di samping tikus, nyamuk, lintah, lipan, ular berbisa dan ular sendok, menjadikan daerah pedalaman kurang menarik bagi penduduk atau pun para wisatawan," tulis Hanna.
Karena tanah berawa, nyamuk malaria termasuk yang selalu mengintai para pelaut. Namun, karena itulah para pedagang asal China yang sudah tinggal di Sunda Kelapa punya usaha membuat arak yang dijual kepada para pelaut Eropa. Arak itu dianggap sebagai penangkal Malaria dan badan yang lelah.
Arak buatan Sunda Kelapa dikenal enak dan menyegarkan.
Jan Huygen Van Linschoten, Pelaut Belanda yang masuk jajaran orang pertama yang "menemukan Sunda Kelapa" dalam sebuah catatan perjalananya menuliskan tentang tuak Betawi itu, "Minuman yang sangat enak, seperti air susu sisa pembuatan keju yang terasa manis, atau malahan lebih enak lagi," tulisnya sambil menambahkan khasiatnya, "khususnya berkhasiat untuk menurunkan panas, penyakit lever, dan ginjal dan menghanyutkan kotoran serta zat busuk yang keluar dari badan."
Meski demikian, Sunda Kelapa kala itu dikenal sebagai penghasil lada meski dalam jumlah terbatas. Bagi para pedagang Eropa, lada termasuk rempah-rempah yang diburu dan banyak diperjual belikan.
Linschoten memberikan kesaksian, "Pelabuhan utama di Pulau ini (Jawa) adalah Sunda Calapa..Di tempat ini didapati banyak lada bermutu lebih baik daripada lada India atau malabar.."
Baca Juga: Kebakaran Kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa Juga Hanguskan Kendaraan Roda 4
Bagi orang Eropa, lada sangat dibutuhkan.
"Menghangatkan perut dan menghilangkan lendir-lendir dingin perut; untuk mengurangi rasa sakit perut yang disebabkan oleh cuaca dingin."
Dan kini, kota yang berasal dari sebuah rawa-rawa itu, telah berubah menjadi ibu kota Indonesia yang megah dan modern.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV