Politisi Gerindra: Penangkapan LCW Jadi Pintu Masuk Tangkap 'Ikan Besar', Bisa Pejabat Negara
Sapa indonesia | 21 Mei 2022, 10:39 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Penangkapan LCW (Lin Che Wei) oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tersangka kasus mafia minyak goreng menjadi pintu masuk untuk menangkap 'ikan besar' atau big fish.
Anggota Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade menjelaskan hal itu dalam Sapa Indonesia Akhir Pekan Kompas TV, Sabtu (21/5/2022) pagi.
“Menurut saya penangkapan LCW ini pintu masuk untuk menangkap big fish. Big fish itu bisa pejabat negara, bisa juga oligarki yang bekerja sama dengan pejabat negara,” tuturnya.
Yang perlu dikejar, lanjut politisi Partai Gerindra ini, adalah status LCW selaku konsultan.
Apakah dia merupakan konsultan Kementerian Perdagangan atau konsultan swasta yang ditempatkan di Kementerian Perdagangan.
“Pertanyaan saya, yang bayar gaji LCW ini siapa, negarakah atau oligarkikah?”
“Jadi jangan sampai hanya sebatas senior manager, general manager, yang perlu kita kejar sekarang, kalau ada bukti keterlibatan korporasi, ya manajemen korporasinya dijadikan tersangka,” tegasnya.
Baca Juga: Pembukaan Keran Ekspor Sawit Dikhawatirkan Sebabkan Harga MInyak Goreng Kembali Tinggi
Bahkan, lanjut Andre, kalau perlu pemilik perusahaan yang diduga kebanyakan tinggal di luar negeri pun harus dikejar.
Ia meyakini hal itu akan memberi efek jera, sehingga oligarki-oligarki itu tidak bisa main-main lagi dengan kepentingan bangsa dan negara.
Pada kasus ini, Andre berpendapat bangsa bukan hanya mengalami kerugian ekonomi saja, tetapi kerugian seluruh rakyat Indonesia.
“Bayangkan, negara kita produsen CPO terbesar di dunia ini. Negara kita produsen minyak goreng terbesar di dunia.”
“Kita memproduksi minyak goreng 16 miliar liter per tahun. Kebutuhan domestik, baik untuk rakyat maupun industri hanya 5,7 miliar liter per tahun. Ada 10 sampai 11 miliar liter, itu yang diekspor,” urainya.
Ia mempertanyakan, kenapa pemerintah tidak bisa memastikan minyak goreng sebanyak 5,7 miliar liter itu bisa didistribusikan untuk kepentingan rakyat.
“Intinya, kita sangat-sangat surplus. Jadi jangan kita seperti tikus mati di lumbung padi. Itu yang terjadi pada bangsa kita saat ini.”
“Sangat ironis produsen CPO terbesar di dunia, produsen minyak goreng terbesar di dunia, pemerintah kurang mampu mengendalikan ini. Bahkan diduga kita kalah dengan oligarki,” ulangnya.
Permasalahan minyak goreng ini, lanjut Andre merupakan pekerjaan rumah (PR) kita semua, juga PR untuk pihaknya di DPR, untuk mengawasi dan mendorong pemerintah.
“Khususnya menteri-menteri Presiden Jokowi itu punya nyali berpihak pada rakyat. Karena kasihan presiden. Presiden sudah menunjukkan keberpihakan yang luar biasa pada rakyat, tapi implementasi di tangan menteri-menterinya itu jadi memble.”
Selain menjelaskan tentang kasus hukum, Andre juga membeberkan bahwa BUMN hanya menguasai 4 persen dari jumlah produksi CPO, atau hanya mampu memproduksi 7 juta liter per tahun.
Ia menyebut akan mendorong Menteri BUMN dan holding PTPN III untuk membenahi, agar peran BUMN menjadi lebih besar lagi, sehingga di kemudian hari bisa melakukan intervensi di pasar.
“Sehingga kita tidak seperti sekarang , dipermainkan oligarki.”
“Kedua, betul, seharusnya dengan larangan ekspor, urusan minyak goreng ini selesai dalam satu minggu minyak goreng curah,” imbuhnya.
Baca Juga: Terkait Larangan Ekspor CPO, Anggota Komisi VI DPR Sebut Ada Perlawanan Oligarki terhadap Negara
Menurutnya ini soal ketegasan pemerintah.
Di saat pemerintah melarang ekspor seharusnya pemerintah memanggil semua oligarki, dan menggunakan kekuasaan pemerintah, untuk memerintah mereka melakukan produksi massal untuk pasokan pasar.
“Bilang, you produksi secara massal segera, banjiri pasar, habis itu kami akan cabut larangan ekspor.”
“Seharusnya itu satu minggu selesai, kalau menteri-menteri pemerintah punya nyali, menteri-menteri pemerintah punya ketegasan. Ini disayangkan, presidennya tegas, presidennya punya kebijakan jelas, menterinya lambat bin lelet,” tuturnya.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV