Penyebab Suhu Panas di Kota-Kota Besar Belakangan Ini: Urban Heat Island, Apa Itu?
Sosial | 6 Mei 2022, 05:25 WIBSOLO, KOMPAS.TV - Suhu panas dengan kelembapan tinggi melanda kota-kota besar di Indonesia belakangan ini.
Di Kota Solo, per Rabu (4/5/2022) kemarin, suhu rata-rata mencapai 33-34 derajat celcius. Bahkan, di Semarang bisa mencapai 35 derajat celcius.
Cuaca panas tersebut dipadukan dengan tingkat kelembapan yang tinggi.
Per hari Kamis (5/5/2022), Kota Yogyakarta memiliki rata-rata suhu 24-34 derajat celcius dengan tingkat kelembapan 95%. Hal itu menjadi asalan kenapa belakangan ini terasa sangat gerah.
Kasi Data BMKG Jawa Tengah, Iis Widya Harmoko menyebut hal tersebut wajar dan puncaknya akan terasa pada bulan Oktober.
"Memasuki masa transisi pancaroba. Sehingga kondisinya terasa panas dan sumuk pada siang hari, dan hujan pada sore atau malam hari," terangnya, dikutip dari Tribunsolo.
"Untuk suhu sendiri itu biasanya puncak tertingginya terjadi bulan Oktober nanti akan turun lagi sampai sekitar bulan Desember dan naik lagi sekitar Februari atau Mart."
"Siklus suhu rata-rata memang seperti itu, memang kondisi masa transisi seperti itu," tegasnya.
Namun, tentu bukan itu saja penyebab utama suhu panas belakangan ini, terutama di kota-kota besar Indonesia.
Salah satu penyebab lainnya adalah efek Urban Heat Island (UHI). Lalu, apa itu UHI?
Baca Juga: 70 Hektar Hutan Rokan Hulu Terbakar, Akses dan Cuaca Panas Ekstrem Pemicu Sulitnya Pemadaman Api
Efek Urban Heat Island
Enviromental Protection Agency (EPA) menyebut UHI adalah masalah utama dalam setiap kota berkembang di dunia dunia terhadap pemanasan global.
Penyebab UHI antara lain adalah berkurangnya area hijau di perkotaan akibat pembukaan lahan berlebih.
Masalah ini juga berkorelasi erat dengan urbanisasi yang tak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Urbanisasi membuat suatu kota semakin padat.
Ambil contoh ibu kota Indonesia, DKI Jakarta. Sebagai kota metropolitan, Jakarta memiliki indeks pembangunan manusia (IPM) paling tinggi di Indonesia.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2009 silam, IPM Jakarta sudah menjadi yang tertinggi sebesar 77,36 poin. Satu dekade kemudian, DKI Jakarta capaian IPM sebesar 80,76 poin.
Bahkan, BPS menggolongkan DKI Jakarta sebagai satu-satunya provinsi dengan status capaian IPM 'sangat tinggi'.
Lantas, apa dampaknya? Sebagai hasilnya, Jakarta menciptakan dua masalah dari segi lingkungan, pertama efek pemanasan pada daerah perkotaan (urban heat islanf effect), kedua polusi air dan udara yang tak terkontrol.
Kemudian, efek UHI ini menyebabkan pemakaian listrik yang berlebih, sering dengan adanya AC atau pendingin ruangan di perkantoran dan perubahan.
Kenaikan penggunakan energi listrik ini membuat pembangkit listrik menggunakan lebih banyak bahan bakar fosil yang menyebabkan Green House Gasses (GHS) dalam jumlah yang banyak.
Jakarta sendiri merupakan kota peringkat ke-19 dunia dengan sumbangan emisi karbon tertinggi. Sementara Indonesia merupakan negara nomor 10 di dunia dengan catatan emisi karbon tertinggi.
Masih banyak faktor lain peningkatan UHI di wilayah perkotaan. Bahan material yang dipakai menyerap panas atau memantulkan, hingga minimnya lahan hijau.
Baca Juga: Jateng Bagian Selatan Segera Masuki Pancaroba, BMKG Ingatkan Potensi Panas Terik hingga Hujan Petir
Suhu Panas seperti Penyakit
Suhu panas ekstrem juga dianggap sebagian kalangan sudah seperti sebuah penyakit.
Edith de Guzman dari Universitas California, Los Angeles menyebut ada peningkatan kematian sebesar 30 persen selama musim panas di LA.
"Apa yang kami lihat kadang-kadang, jumlah kematian di atas 150 dapat meningkat sekitar 30 persen selama cuaca panas ekstrem. Itu jumlah kematian tambahan yang signifikan," kata de Guzman, dikutip dari Wired.
Situasi menjadi lebih kompleks ketika membicarakan penduduk perkotaan dengan penghasilan rendah yang rata-rata tidak memiliki pendingin ruangan (AC).
Sebagai contoh, pada bencana Northwest Heat Wave 2021 silam, data menunjukkan perumahan ber-AC memiliki suhu ruangan yang terbilang nyaman, 23 derajat celcius.
Sebaliknya, rumah-rumah yang tidak ber-AC dihantam panas mencapai 51 derajat celcius.
The New York Times mengonfirmasi ada 798 korban meninggal akibat bencana Northwest Heat Wave tersebut.
Sementara itu, De Guzman dan koleganya sudah menganggap kota-kota dengan cuaca panas ekstrem sebagai seorang pasien.
Baca Juga: Penjelasan BMKG soal Heboh Fenomena Air Panas yang Muncul Pasca Gempa di Pasaman Barat
"Saya menganggap Los Angeles dan kota-kota mana pun sebagai seorang pasien yang sedang menderita panas ekstrem dan kami akan membuat resep untuk pasien itu," sebut de Guzman.
Dalam jurnalnya, De Guzman dan koleganya menganggap perubahan sederhana seperti menambahkan pohon di perkotaan, mengecat atap rumah dengan warna cerah, dapat menyelamatkan 1 dari 4 nyawa yang biasa hilang karena suhu panas ekstrem.
"Meskipun kita berada dalam situasi yang sangat mengerikan dan melihat perubahan terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan para ilmuwan, ada solusi praktis yang dapat kita terapkan di tingkat lokal," tandas de Guzman.
Penulis : Gilang Romadhan Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV