Kronologi Kasus Satelit Kemhan yang Mengancam Denda Ratusan Miliar
Peristiwa | 15 Februari 2022, 10:44 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI didenda Rp515 Miliar atau senilai USD 103.610.427.89 terkait sewa satelit ke vendor luar negeri, yakni Navayo International AG dan Hungarian Exsport Credit Insurance PTE LTD.
Permasalahan ini bermula saat Kemhan tidak membayar uang sewa kepada vendor pada tahun 2015. Satelit yang disewa diketahui digunakan untuk mengisi kekosongan di slot orbit 1230 BT.
Lantaran berhenti membayar sewa, kemudian Navayo International AG dan Hungarian Exsport Credit Insurance PTE LTD mengajukan gugatan ke ICC Singapore dan dikabulkan. Kemhan dihukum membayar denda USD 103.610.427.89.
Usai dikabulkan oleh ICC Singapura, kemudian dua vendor mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat agar Kemhan melaksanakan putusan ICC Singapura itu dan dikabulkan.
Untuk mengetahui kronologi lengkap terkait sewa satelit Kemhan ke vendor yang mengancam denda hingga ratusan miliar, berikut ini rangkuman Kompas.tv.
Diketahui, kasus ini mencuat berawal dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Mahfud membeberkan adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan).
"Dugaan pelanggaran terkait proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) pada tahun 2015," kata Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/1/2022).
Baca Juga: Kasus Korupsi Satelit Kemhan, Jaksa Agung: Ada Tindak Pidana yang Dilakukan dari Unsur TNI dan Sipil
Tahun 2015
Mahfud menjelaskan, awalnya pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit tersebut.
Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu, kata Mahfud, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) lalu memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Permintaan itu yakni mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Tahun 2016
Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater atau satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication Limited (Avanti) pada 6 Desember 2015.
Meskipun, persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo itu baru diterbitkan pada 29 Januari 2016.
Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," tuturnya.
Pada 2016, anggaran baru tersedia, namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.
Untuk membangun Satkomhan, kata Mahfud, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya juga belum tersedia.
Tahun 2018
Namun, pihak Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.
Lalu, pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).
Namun ternyata, PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan.
Baca Juga: Kasus Satelit Orbit Kemhan Ditangani Secara Koneksitas, Jaksa Agung: Segera Tetapkan Tersangka
Tahun 2019
Kemudian, Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
"Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar," ujarnya.
Selain itu, kata Mahfud, pemerintah juga menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan Navayo. Putusan itu menyatakan pemerintah diharuskan membayar USD20,9 juta.
"Yang USD20 juta ini nilainya mencapai Rp304 miliar," ujarnya.
Mahfud pun memperkirakan angka kerugian ini akan bertambah besar karena masih ada perusahaan lain yang meneken kontrak dengan Kemhan dan belum mengajukan gugatan.
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV