Seniman Bantul Perakit Transformers Itu Bernama Eri Sudarmono
Laporan khusus | 15 Februari 2022, 07:00 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV - "Boleh, Mas. Tapi yang selesai, sudah saya kemas semua," begitu jawab Eri Sudarmono saat membalas pesan singkat saya untuk berkunjung ke studionya.
Selesai yang dimaksud Eri adalah puluhan replika robot Transformers yang sudah siap dikirim ke pemesannya. Artinya, saya kemungkinan tidak mendapat momen untuk memotret robot-robot Transformers tersebut
"Tidak apa-apa," jawab saya pendek.
* * *
Siang itu saya tiba di Eri Studio Art. Lokasinya sekitar 14 kilometer dari titik nol Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya di Kauman, Gilangharjo, Pandak, Kabupaten Bantul. Setengah jam naik motor jika kondisi jalan lengang.
Dari luar, bangunan itu menyerupai rumah-rumah di perkampungan pada umumnya. Tulisan Eri Studio Art di ujung atap depan rumah sebagai penanda pun tidak terlalu jelas. Selain karena tinggi, ukuran huruf yang tipis berwarna merah dengan cat dasar hitam membuatnya tidak begitu mencolok.
Pagar yang sekaligus dijadikan dinding ada coretan yang bisa jadi penanda. Tapi itu mural yang lebih menyerupai bendera Britania Raya: Union Jack. Seandainya tidak mepet ke badan jalan, posisi itu cocok dibangun pos ronda. Posisinya di pertigaan. Mural bendera piala dunianya juga sudah siap, walau masih dua tahun lagi.
Saya turun dari motor, melepas helm. Tempat saya parkir persis di depan rumah, tepatnya di garasi berkeramik. Dari pintu garasi terbuka sedikit itu mata saya tertuju ke pria berbaju biru dengan celana jeans yang dipotong selutut.
Pria itu sibuk membungkus sebuah becak besi berpenumpang robot.
"Selamat siang, ada mas Eri?" sapa saya. Pria berambut ikal itu bangkit dari kesibukannya dan meminta saya menunggu.
Selang beberapa menit pria berbaju biru tadi keluar bersama laki-laki berpostur sedang. Mengenakan topi yang warna cokelatnya hampir pudar dan kaos yang coklatnya lebih terang. Ia juga mengenakan jeans yang dipotong selutut.
"Oh iya, saya Eri. Masuk sini aja," sambut pria yang saya cari siang itu.
Eri Studio Art itu dibagi tiga sekat. Ruangan pertama tadi tempat mengemas barang. Di situ ada dua orang yang sedang mengukur presisi balok yang dibuat boks kemasan.
Eri lalu mengajak saya berbincang di ruangan tengah yang lebih mirip seperti ruang pajang motor antik. Di sana bercokol ratusan motor Yamaha keluaran periode 80-90an.
Prentelan-prentelan motor itu hampir semuanya besi, khas motor klasik. Motor-motor inilah yang siap "dikanibal" menjadi replika robot Transformers.
"Itu semua tadi dikirim ke mana aja, Mas?" saya memulai buka obrolan.
"Kali ini di Indonesia aja, ada ke Manado, Jakarta, Bogor, dan ke beberapa daerah lain. Kalau yang becak itu, dekat sini," jawab Eri.
Ketika Eri bilang “kali ini di Indonesia saja”, itu karena memang pelanggannya sudah menyebar di beberapa negara. Antara lain: Jerman, China, hingga Amerika.
Ia mengaku sudah mengirim sekitar 30-an replika robot ke China dan Jerman. Baik yang bentuknya mirip Transformers atau kreasinya sendiri.
"Yang dari China mesan 100, belum bisa dipenuhi semua. Ada juga dari Amerika tapi belum DP," ungkap Eri.
Mendekor, Melukis, Merakit
Kehidupan berkesenian Eri Sudarmono (42) sudah dipelajari sejak ia belajar di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta. Lulus dari sana, ia sempat melanjutkan ke studi seni kriya di Institut Seni Indonesia di kota yang sama.
"Saya di ISI seangkatan Soiman (artis Soimah Pancawinata – red), tahun 1999," ucapnya.
Sebelum jadi pembuat replika robot, Eri adalah pelukis. Ia sering mengerjakan proyek-proyek lukisan borongan dan melayani pesanan dari luar negeri. Kegiatan itu dilakoni Eri sejak 2006.
Ruangan tanpa plafon yang saat itu kami tempati ngobrol adalah bekas galeri lukisan Eri. Di dindingnya masih tercantol lukisan-lukisan yang pernah ia buat. Kini ruangan tersebut telah menjadi penampungan motor-motor klasik sebagai bahan utama Transformers.
Selain melukis, Eri juga membuat tim kerja untuk jasa dekorasi. Setiap event di mal-mal, ia kadang dipanggil untuk membuat dekorasi seninya.
"Itu dekorasi yang di depan Ambarukmo Plaza sering saya yang buat," kenangnya.
Ketika pandemi Covid-19 menghantam sejak 2021 dan berbagai event di mal praktis ditiadakan, Eri mulai kehilangan pesanan dekorasi.
Ia lantas memutuskan banting setir: menjadi pembuat replika robot. Dari sinilah semua bermula.
"Kan, saat itu pandemi, ya, Mas, jadi toko juga tutup. Kolektor-kolektor lukisan dari luar negeri juga tidak ada yang datang, ya, jadinya awalnya itu," ujarnya.
Nama studionya pun juga diubah: "Awalnya, kan, Eri Studio Painting, lalu belakangnya diganti jadi Eri Studio Art."
Eri pertama kali mengerjakan robot Transformers dari pesanan pelanggan lukisannya di China. Ia menyanggupi permintaan replika robot dan berlanjut hingga kini.
Apa yang membuat Eri yakin tak lain dan tak bukan adalah karena ia memahami bahan baku untuk membuat replika robot.
"Awalnya pesanan dari China, dan saya berani karena elemen-elemen logam juga saya pelajari," jelas Eri.
Eri memang dikenal sebagai pelukis, tapi sebenarnya ia lebih spesialis di instalasi logam. Maka tak perlu diherankan jika kemudian ia tak asing untuk merakit replika robot.
"Tinggal memahami elemen logam aja, sama semua, kok," tambahnya.
Eri memilih motor sebagai bahan utama membuat replika robot karena rongsokan kendaraan roda dua di Yogyakarta cukup melimpah, mudah didapatkan, dan harganya juga relatif murah.
"Kalau motor tua begini, tidak bisa diapa-apain, kan, mending dijual. Diperbaiki juga sudah tidak memungkinkan," kata Eri sambil menunjuk Yamaha yang produksinya sudah tidak lagi bisa terdeteksi. Di motor itu hanya tercantol mesin dan rangka utama.
Satu motor tua dibeli Eri dengan berupa-rupa harga. Mulai dari Rp400 ribu sampai paling mahal mencapai Rp1.400.000.
Satu motor bisa jadi satu sampai dua kaki robot. Tergantung dimensinya. Sedangkan satu robot yang tingginya rata-rata dua atau tiga meter, membutuhkan lima hingga tujuh motor.
Robot-robot itu dihargai dari mulai Rp30 juta hingga ratusan juta Rupiah.
"Ini tergantung pesanan dan elemennya. Kalau harga motornya mahal, harga robotnya juga agak tinggi," kata Eri sambil menunjuk replika robot warna biru yang dibuat dari motor Suzuki Family seri FR 80.
Robot biru itu, jelas Eri, harganya sedikit di atas karena surat-suratnya masih ada dan hidup. Tidak ada yang dibuang dari motor itu, bahkan bannya juga dipakai sebagai ornamen robot. Kelistrikannya pun masih berfungsi.
"Ini warna biru bawaan. Masih ada surat-suratnya. Langka. Nanti surat-suratnya akan diserahkan ke pemesan robotnya juga, harganya menyesuaikan," tambahnya.
Bekas Kandang Ayam dan Pesanan Anggota DPR
Usai ngobrol beberapa menit di galeri lukisannya, Eri mengajak saya bergeser ke bagian ketiga studionya. Mereka menyebutnya bengkel.
Ruang yang sebagian atapnya terbuka itu memang serupa bengkel. Semua perkakas untuk mempreteli mesin ada di situ. Gergaji besi, mesin las, hingga semprotan cat. Oli membandel menutupi lantai semen, dan ban-ban bekas disusun di langit-langit.
"Dulunya ini kandang ayam," kata Eri menjelaskan. Saya cukup terkejut.
Di bengkel yang luas kurang lebih sama dengan dua kali luas lapangan voli itu terdapat sekitar 14 pekerja. Sebagian besar mereka adalah warga sekitar dan tidak berlatar belakang seni.
Eri mengaku senang dengan mereka karena ia bisa sekaligus berbagi. Mereka yang awalnya hanya bisa ngelas, misalnya, "sekarang, tidak perlu saya arahkan terlalu banyak, mereka sudah tahu sendiri".
Tak hanya warga sekitar, beberapa ada mahasiswa yang tengah melakoni Praktik Kerja Lapangan (PKL). Bahkan juga ada sarjana kehutanan yang bekerja di tempat Eri.
Eri beberapa kali sempat mengarahkan pekerjanya agar menatap secara presisi replika macan yang terletak persis di depan posisi kami berdiri.
"Ini mungkin seminggu lagi, pesanan Rachmat Gobel, anggota DPR," jelasnya.
Saat saya tanya apakah harga replika macan itu mencapat ratusan juta, Eri hanya tersenyum.
"Tidak sampai. Ini kurang lebih menghabiskan 10-15 motor," jawabnya.
Terletak di posisi yang berbeda, ada juga satu kerangka replika lain yang ukurannya nyaris sama dengan replika macan tadi.
"Itu apa, Mas?"
"Ini bagong"
Pesanan Mengantre, Tawaran Pindah, dan Sebuah Mimpi
Kami kemudian berpindah ke sudut bengkel, tempat para pekerja Eri beristirahat. Di sana mereka biasa minum es teh manis sambil mendengarkan lantunan musik dangdut koplo.
Saya kembali menyodorkan pertanyaan: selain platform WhatsApp dan Instagram, adakah platform lain yang digunakan Eri untuk memasarkan karya-karyanya?
"Cukup di Instagram saja dulu," jawabnya.
Eri memang enggan bekerja ngoyo atau memaksakan diri. Ia hanya mau fokus mengerjakan tiap pesanan satu per satu dengan sebaik mungkin.
"Sesuai pesanan saja. Ini saja antriannya masih sampai lebaran. Orang mesannya paketan. Ada yang langsung pesan empat, lima, enam," jawab Eri.
Ia kemudian membuka smartphone-nya dan memperlihatkan ke saya daftar pesanan yang ia perkirakan baru akan rampung akhir puasa mendatang.
Karena kepiawaiannya, Eri beberapa kali diminta orang untuk mengembangkan Transformers-nya di luar Eri Studi0 Art.
Sandiaga Salahuddin Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), adalah salah satu orang yang sempat membujuk Eri agar ia memperluas cabang ke Jakarta. Alasannya, karena limbah motor bekas banyak di Ibu Kota. Tawaran serupa dari Malaysia pun sempat pula ia terima.
Tapi Eri belum tergiur untuk melakukan itu semua. "Di Jogja juga masih banyak motor-motor bekas," jawabnya. Ia masih fokus menyelesaikan mimpinya yang lain:
"Masih perlu bikin robot bergerak, punya kami baru lampu yang bisa nyala. Dan itu biayanya mahal, satu gerakan saja butuh modal ratusan juta."
Sebelum pertemuan kami selesai, saya sempat menanyakan Eri lagi satu hal: "Bercita-cita masuk Transformers beneran nggak, Mas?"
Sambil tersenyum Eri menjawab: "Hampir semua orang menginginkan itu."
Penulis : Hedi Basri Editor : Eddward-S-Kennedy
Sumber : Kompas TV