167 Tahun Silam, Sang Pangeran Pemimpin Perang Jawa Itu Meninggal Dunia
Peristiwa | 8 Januari 2022, 07:12 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Senin, 8 Januari 1855, para petugas Belanda di Benteng Rotterdam, Makassar Sulawesi Selatan, dibangunkan oleh kabar duka.
Tahanan yang mereka jaga selama ini, Pangeran Diponegoro, telah meninggal dunia dalam usia 70 tahun, tepat pada pukul 06.30, saat matahari hangat mulai bersinar.
Dalam sertifikat kematian disebutkan penyebab kematian karena kondisi fisik yang terus menurun lantaran usia lanjut.
Makam Pangeran Diponegoro kini berada di tengah Kota Makassar yang ramai. Lengkap dengan gapura menghiasi pintu masuk makam.
Diponegoro lahir di Yogyakarta dari keluarga keraton pada 11 November 1785 dari ayah Gusti Raden Mas Suraja (Hamengku Buwono III) dan ibu bernama R.A. Mangkarawati dari Pacitan.
Sewaktu dilahirkan, dia bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.
Baca Juga: Menakjubkan, Indahnya Keris Pangeran Diponegoro
Setelah ayahnya naik takhta, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Haryo Diponegara.
Sejarah mencatat, Diponegoro merupakan pimpinan perang Jawa (1825-1830) yang telah menelan korban 8.000 korban serdadu Hindia Belanda dan kerugian materi sebesar 25 juta Gulden.
Sejarawan dari Oxford University Peter Carey dalam bukunya, Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), menuliskan bahwa perang Jawa merupakan salah satu pemberontakan terbesar kaum pribumi terhadap pemerintah kolonial di Jawa.
"Perang Jawa merupakan peristiwa pemberontakan terbesar masyarakat Jawa terhadap penguasa kolonial. Dampaknya dirasakan oleh sekitar 2.000.000 penduduk, sepertiga dari total penduduk pulau itu," tulis Carey.
Mengapa perang Jawa bisa berlangsung lama dan dengan korban nyawa dan harta yang begitu besar? Menurut Carey, pihak penjajah Belanda tidak siap dengan perang gerilya yang dilancarkan Diponegoro dan pasukannya.
Baca Juga: Pernah Dinyatakan Hilang Ratusan Tahun, Keris Pangeran Diponegoro Kini di Solo
"Ketidaksiapan ini diperparah dengan buruknya hubungan antara otoritas sipil dan otoritas militer Belanda," jelas Carey.
Namun dari semua kekurangan itu, salah satu yang paling fatal, Belanda tidak memahami masyarakat Islam Jawa kala itu.
"Hal ini mengakibatkan mereka (Belanda) hanya bisa berperang secara membabi buta," ujar Carey dalam uraiannya.
Terbukti, selama perang yang melelahkan itu, Pangeran Diponegoro hanya bisa dikalahkan lewat siasat licik, yaitu penangkapan di kala sang pangeran ingin berkunjung dalam acara silaturahmi lebaran hari kedua.
Penangkapan yang dipimpin Jenderal de Kock itu, beberapa tahun kemudian diabadikan lewat lukisan fenomenal karya Raden Saleh.
Yaitu saat Pangeran Diponegoro mendongakkan kepala di hadapan prajurit Belanda sementara para prajurit Belanda itu digambarkan berbadan kerdil dengan wajah yang seragam.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV