Alasan PKS Tolak Pengesahan RUU TPKS: Ingin Perlindungan Hukum untuk Korban Kejahatan Seksual
Sapa indonesia | 5 Januari 2022, 21:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ingin adanya perlindungan hukum untuk korban kejahatan seksual, bukan hanya untuk korban kekerasan seksual.
Hal itu yang menyebabkan Fraksi PKS masih menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati mengatakan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam dialog program Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, Rabu (5/1/2022).
“Kami menginginkan adanya perlindungan terhadap semua korban dari semua jenis kejahatan seksual, bukan hanya kekerasan, dan juga ada ketentuan hukum untuk pelaku kejahatan seksual yang bukan hanya kekerasan,” ungkap Kurniasih, menguraikannya.
Baca Juga: Panja Targetkan RUU TPKS Disahkan Dalam Satu Kali Masa Sidang Berikutnya
Oleh karena itulah, menurut Kurniasih, pada pleno terakhir, PKS menolak RUU TPKS sebelum didahului dengan adanya pengesahan larangan perzinaan ataupun seks bebas dan penyimpangan seksual yang diatur dalam undang-undang yang berlaku.
Aturan tentang larangan perzinaan itu, menurutnya terdapat di RUU KUHP yang carry over, yang sebenarnya bisa segera dibahas di DPR.
“Sehingga tidak ada kekosongan hukum dari RUU TPKS ini. Kita pada rapat-rapat terakhir, sudah mengusulkan supaya bersamaan pengesahannya RUU TPKS dan RUU KUHP,” katanya.
“Kalau RUU TPKS disahkan tapi RUU KUHP-nya tidak disahkan, berarti ada kekosongan hukum,” imbuhnya, menegaskan.
Dia mencontohkan perbuatan seksual suka sama suka tanpa kekerasan.
Menurut Kurniasih, di dalam RUU TPKS, aturan tentang hal ini belum diakomodir.
Padahal, kejahatan seksual semacam itu dinilainya juga ada korbannya.
Begitu pula dengan penyimpangan seksual.
Bahkan, hal-hal semacam itu disebutnya menyumbang 30 persen penyebab meningkatnya angka HIV.
“Itulah kenapa kami fraksi PKS menginginkan ada muatan yang mengatur, hukum yang mengatur tentang penyimpangan seksual dan seks bebas. Karena sudah banyak juga korbannya dan pelakunya,” katanya.
Narasumber lainnya pada dialog tersebut adalah Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya.
Ia lantas menanggapi pendapat Kurniasih itu setelah diberi kesempatan berbicara oleh presenter yang memandu dialog secara langsung (live) tersebut.
Menurut Willy Aditya, hal-hal yang diusulkan oleh Fraksi PKS dan fraksi partai Islam lainnya telah diakomodir secara utuh dalam kerangka sexual consent tidak masuk dalam RUU TPKS.
Walaupun kemudian oleh kelompok masyarakat sipil sebagai pengusungnya ditolak secara luar biasa karena itu dianggap menjadi sebuah pilar utama dalam kekerasan seksual.
“Tapi kemudian demi mengakomodir teman-teman semua supaya bisa kita golkan secara cepat, maka sexual consent itu dihapus,” jelas Willy.
Kedua, lanjut Willy, negara hanya mengatur tentang kekerasan.
Tidak boleh digunakan oleh individu atau kelompok di dalam negara.
Baca Juga: Kementerian PPPA Janji Libatkan DPR, Organisasi atau Tokoh Agama, dan Penegak Hukum Bahas RUU TPKS
Oleh sebab itu, ketika DPR tidak mengatur perilaku, bukan berarti menyepakati hal itu.
“Itu harus clear dan clean. Kami tidak mengatur apa yang sudah termaktub di dalam undang-undang yang eksisting, termasuk perzinaan yang sudah ada di KUHP,” kata Willy.
“Itu undang-undangnya masih eksis, dan pasal zina ada di sana. Kami tidak mengatur zina karena itu sudah ada di KUHP,” tegasnya.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV