Kaleidoskop Kebijakan Publik 2021: Aturan Covid-19 Sering Berubah hingga Masyarakat Merasa Geregetan
Update | 31 Desember 2021, 13:54 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Kebijakan-kebijakan terkait pandemi Covid-19 telah banyak dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah sepanjang tahun 2021.
Banyaknya aturan mengenai pengetatan dan pelonggaran mobilitas, baik yang tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) maupun peraturan lainnya, telah menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Menurut Analis Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak 2020 ini, para elite pemerintah terlihat berkompetisi bukan melakukan kolaborasi.
"Harusnya ada sikap kolaboratif di saat pandemi, namanya suasana extraordinary. Harus kompak dan solid. Tetapi yang terjadi malah berkompetisi," kata Trubus dalam dialog Sapa Indonesia Pagi Spesial Tahun Baru KOMPAS TV, Jumat (31/12/2021).
Menurutnya, kompetisi terlihat di antara kementerian dan lembaga hingga ke tingkat daerah.
Pemerintah seolah hanya mempertontonkan pencitraan yang sebenarnya kontraproduktif dengan sikap masyarakat.
Terkait hal ini, Trubus menilai ada kelemahan kepemimpinan dari seorang presiden.
"Karena pada akhirnya, mereka masing-masing mempertontonkan bahasa kerennya keahlian tapi sebenarnya mempertontonkan pencitraannya itu dengan sikap-sikap yang sebenarnya kadang kontraproduktif dengan masyarakat," jelasnya.
Baca Juga: Kaleidoskop 2021: Skandal Idol K-Pop Paling Heboh Sepanjang Tahun Ini
Masyarakat Gregetan
Banyaknya perubahan kebijakan pemerintah terkait Covid-19, menurut Trubus, membuat masyarakat geregetan dan merasa jengkel.
"Masyarakat dibikin geregetan, gemes, dibikin jengkel juga kenapa harus berubah seperti ini dalam situasi dan tempo yang sesingkat-singkatnya," imbuhnya.
Hal ini yang menyebabkan masyarakat kurang sigap untuk mengimplementasikan aturan tersebut. Bahkan hingga mempertanyakan keseriusan pemerintah.
"Sering kali memandang bahwa pemerintah nih serius banget gak sih menangani (pandemi Covid-19). Nah ini pejabat publik tuh tau nggak, kadang mereka bersikap dengan gaya yang marah-marah atau dengan sikap yang penuh haru biru," ujar Trubus.
Salah satu kebijakannya, ia menyontohkan, seperti meminta masyarakat untuk tidak melakukan mobilitas. Tetapi, tidak ada hak yang diberikan kepada masyarakat.
"Tetapi setiap ditanya kebijakannya selalu menjawab sudah ada dan dilaksanakan dengan baik. Selalu para pejabat bilangnya seperti itu."
Kebijakan Sering Berubah
Menurut Trubus, dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), terlihat sekali banyak kepentingan yang mengarah ke 2024.
Terlebih, kata dia, publik sejatinya melihat dari dua sisi yaitu perilaku pejabat publiknya dan perilaku lembaganya.
"Ketika membuat kebijakan itu seperti setengah hati, berpihak, tidak berkeadilan, diskriminatif, ya, itu muncul terus," terangnya.
Selain itu, Trubus menyebut, kebijakan yang dikeluarkan cenderung bersifat top down. Akibatnya, jika ada pemerintah daerah yang membuat aturan yang tidak sesuai dengan aturan pusat, dinilai membangkang dan mendapat teguran.
Ia menyontohkan apa yang terjadi di Tegal, Jawa Tengah.
"Daerah Tegal pernah melakukan kebijakan lockdown kemudian bukannya didukung dalam konteks penanganan pandemi Covid-19. Tapi yang didukung seolah-olah kepala daerah di Tegal adalah orang yang membangkang," ucap Trubus.
Daerah lain yaitu Banjarnegara yang kemudian menerapkan kebijakan sendiri hingga memicu kegiatan sosial yang masih terus berlangsung.
"Kebijakan suka-suka gue. Akhirnya masyarakat akhirnya ada yang hajatan hingga aturan PSBB dan PPKM tidak dilaksanakan dengan baik," imbuhnya.
Kebijakan Cenderung Dipaksakan
Pemerintah juga dinilai menerapkan kebijakan yang mengekang saat Indonesia dihantam badai Covid-19 varian Delta pada bulan Juli 2021. Salah satunya dengan menerapkan PPKM Darurat.
Baca Juga: Kaleidoskop Prestasi Olahraga Indonesia 2021: Tradisi Emas Olimpiade dan Bawa Pulang Piala Thomas
"Nah itu masyarakat dikekang tapi kebijakan pemerintah lucu, ada sektor esensial, non esensial. Yang esensial boleh masuk, yang non esensial gak boleh sama sekali," jelas Trubus.
"Ketika itu terjadi di lapangan, praktiknya pemerintah daerah bingung mau gimana karena kan kebutuhan. Ini ada kesalahan dalam cara berpikir," imbuhnya.
"Kebijakan itu banyak sekali yang dipaksakan dan tumpang tindih. Sering juga asal-asalan."
Sanksi bagi Kepala Daerah
Dalam Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020, ada ancaman kepada kepala daerah yang tidak mau melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait penegakan protokol kesehatan.
Adapun bunyi dari aturan tersebut yaitu dalam hal Gubernur, Bupati dan Wali kota tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri ini, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kendati demikian, Trubus menilai implementasinya tidak ada.
"Tapi dalam praktiknya mana, itu hanya di atas kertas formulasi. Implementasinya kan enggak ada," ungkap Trubus.
Ada gap atau kesenjangan antara pandangan publik dan pembuat kebijakan atau decision maker.
Menurutnya, gap tersebut terjadi untuk kebijakan yang bersifat baru dan berkelanjutan.
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV