Para Pakar Bicara Soal Adaptasi Museum Jadi Lebih Ramah Milenial
Jalan - jalan | 12 Desember 2021, 04:47 WIB“Program museum kami adalah program hidup, menghidupkan benda yang ada di museum bukan sekadar artefak,” sambung dia.
Ia menilai museum adalah objek yang butuh informasi namun tetap harus memiliki keterhubungan dengan masyarakat. Museum Ullen Sentalu tidak sekadar menawarkan pengunjung untuk interaksi tetapi juga avonturir.
Maka dari itu, sejumlah perhelatan pernah digelar mulai dari , ICCT Dunia Batik, World of Arcaheological Wonders (WOW), dan Asia Tri.
“Museum punya mandat, misi, dan visi, dan untuk selalu hidup butuh sinergi. Maka kami tak segan-segan menampukan pertunjukan di museum,” kata Daniel.
Pembicara lainnya, Fani Cahya Kini dari Jogja Video Mapping Project (JVMP) bercerita tentang pengalaman efek visual yang pernah digarap oleh JVMP dengan obyek museum.
“Kami membuat mapping keris di Museum Surakarta, tetapi memakai replika keris yang dipajang,” ujarnya.
Adapun pembicara terakhir yakni perwakilan Epson Indonesia, Muhammad Noval lebih menyoroti alasan orang pergi ke museum. Pertama, museum sebagai media edukasi untuk belajar sesuatu yang baru.
Baca Juga: Keris Pangeran Diponegoro Dipamerkan di Museum Solo Setelah Sempat Dinyatakan Hilang Ratusan Tahun
Alasan lainnya, museum menjadi pusat sejarah, media belajar kebudayaan, menjadi inspirasi untuk anak muda mendapatkan pandangan baru serta interaksi.
“Interaksi ini adalah hal baru, jadi ada interaksi atau dialog antara karya dan manusia, karya menyampaikan pesan dan manusia merespons,” sambung Noval.
Menurutnya, saat ini generasi Y dan Z sebagai pembawa tren yang kuat memiliki karakteristik penutur digital, ketertarikan dengan sosial media tinggi, pembelajar sendiri, interaktif, dan fleksibel.
“Mereka tertarik dengan pengalaman baru, belajar, eksplorasi, dan membagi ke orang-orang, dan di sini lah museum bisa masuk lewat tema-tema yang interaktif,” tandas dia.
Penulis : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV