Ketika Mantan Teroris Bertemu Para Korban, Duduk Berdampingan Saling Memaafkan
Peristiwa | 10 Desember 2021, 17:12 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Ali Fauzi mendekati Sudirman Thalib, Agung Leksono dan Nyoman Rencini. Ali yang berperawakan gempal itu, adalah adik dari trio pelaku Bom Bali 2002, Ali Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron.
Meski Ali Fauzi tidak terlibat langsung dalam peristiwa di Bali, Namun sosok dan perannya dalan jaringan Jamaah Islamiyah sangat vital.
Sementara Sudirman Thalib adalah korban Bom Kedutaan Australia (2004), Agung korban bom Kampung Melayu (2017) dan Nyoman Rencini korban Bom Bali (2002).
Namun sore itu, dalam acara "Bincang Siang & Diskusi Bersama Pimpinan Redaksi Media “Terorisme, Korban, dan Media” Aliansi Indonesia Damai dari (AIDA) di Jakarta, Kamis (9/12/2021), mereka tampak hangat.
Ali Fauzi, setelah memaparkan sejumlah testimoni, mendekati tiga penyintas aksi terorisme itu. Dia memeluk Sudirman Thalib, yang sebelah matanya buta akibat peristiwa tak berperikemanusiaan itu.
Ali juga menyapa Agung dan Nyoman Rencini dan keempatnya berbincang hangat.
Menurut Ali Fauzi, ketika menjadi bagian dari kelompok teroris, sikapnya kepada yang berbeda pandangan politik dan agama sangatlah keras.
Hingga pada suatu kesempatan setelah tertangkap oleh aparat keamanan Filipina pada 2004, yang membuatnya dideportasi ke Indonesia dan menjalani hukuman, perlahan dia mulai dipertemukan dengan para korban.
Salah satunya seorang lelaki yang kakinya harus diamputasi karena terkena serpihan bom. "Mas Ali Fauzi, saya sudah memaafkan Anda," kata Ali menirukan sosok lelaki pemaaf itu. Dia juga bertemu dengan warga Belanda, korban Bom JW Marriot 2009, Max Boon yang kedua kakinya sudah diamputasi.
Pernyataan memaafkan dari para korban membuat Ali remuk hatinya. "Hati saya hancur. Kalau saya jadi mereka, saya belum tentu bisa memaafkan," kata Ali dalam kesaksiannya.
Baca Juga: Sempat Tertunda, Sidang Munarman untuk Kasus Terorisme Digelar Terbuka Terbatas Hari Ini
Bertemu dengan para korban terorisme rupanya yang menyadarkan dirinya, bahwa aksi terornya selama ini berada di jalan yang salah. Perlahan namun pasti, setelah melewati masa hukuman selama tiga tahun akibat keterlibatan dalam jaringan terorisme, paham radikalnya pun mulai berubah.
Namun, saat mulai diperkenalkan kepada para korban beberapa tahun silam, Ali mulanya ragu. Para korban pun masih belum percaya. Bahkan saat makan bersama, mereka tidak berada dalam satu meja tapi saling menjauh.
Tapi setelah saling berbagi kisah kesedihan dan harapan di masa depan, mereka pung saling membuka diri dan menerima. Bagi Ali, para korban yang berjatuhan itu, merupakan pukulan bagi bathinnya.
Nyoman Rencini yang kehilangan suami dalam kasus Bom Bali, harus berjuang keras membesarkan anak-anaknya. Tapi dia tidak terlalu lama memendan dendam."Karena saya fokus mencari nafkah buat anak-anak saya," katanya. Rencini lebih banyak menatap masa depan dan berharap aksi teror tidak terjadi lagi.
Sementara Sudirman Thalib, sudah bisa duduk dan berbincang dengan Ali Fauzi dalam suasana akrab dan saling memaafkan.
Bahkan, lelaki yang menjadi satpam di Kedubes Australia itu saat ledakan terjadi itu, tidak menyerah dengan kondisi tubuhnya. Dia melanjutkan kuliah yang menjadi cita-citanya saat merantau dari Bima (NTB) ke Jakarta, yaitu menjadi sarjana. Cita-cita itu tercapai sudah, Sudirman lulus Sarjana Pendidikan pada 2015 silam.
Baca Juga: Diwarnai Protes, Hakim Tunda Sidang Munarman dalam Perkara Terorisme Pekan Depan
Meski masih sering terbayang dengan peristiwa itu, Namun Sudirman sudah memaafkan mereka.
Sementara Agung, yang berprofesi sebagai sopir angkutan umum, mulanya belum mau menerima. Maklum, kakinya robek dan nyaris lumpuh akibat akan menolong seorang polisi dalam peristiwa Bom Kampung Melayu.
"Cukup lama juga ya (buat bisa memaafkan). Sebenarnya sulit buat bilang maafkan tapi ya mau gimana lagi. Selama tiga tahun baru bisa maafin, benar-benar maafin," kata Agung.
Sementara Ali Fauzi yang kini disibukkan dengan Yayasan Lingkar Perdamaian, berharap jalinan silaturahmi itu terus terjaga. "Sudah seperti sedulur," ujarnya.
Yayasan yang kini dibina Ali, salah satu programnya mengajak para mantan napi teroris untuk kembali ke jalan kemanusiaan.
Ada 112 para mantan napi teroris yang kini dalam binaanya untuk bisa menatap masa depan yang lebih berguna dan meninggalkan paham kekerasannya.
Penulis : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV