> >

KPAI Terima Aduan 3 Siswa SD Tak Naik Kelas 3 Kali, Diduga karena Agama yang Dianut

Peristiwa | 21 November 2021, 22:09 WIB
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menerima aduan dari orang tua 3 siswa SD Negeri 051 Tarakan, Kalimantan Utara yang telah tidak naik kelas hingga tiga kali secara berturut-turut. (Sumber: Tribunnews.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapatkan aduan dari orang tua 3 siswa SD Negeri 051 Tarakan, Kalimantan Utara yang telah tidak naik kelas hingga tiga kali.

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan dari laporan yang diterima pihaknya, pihak sekolah disebut tidak menaikkan 3 siswa tersebut karena permasalahan agama yang mereka anut. 

"Ada 3 kakak beradik yang beragama Saksi Yehuwa yang tidak naik kelas selama 3 (tiga) tahun berturut-turut karena permasalahan nilai agama di rapor," kata Retno dalam keterangan tertulis yang diterima KOMPAS.TV, Minggu (21/11/2021). 

Menurut penjelasannya, ketiga adik kakak tersebut bernama M (14 tahun) kelas 5 SD; Y(13  tahun) kelas 4 SD; dan YT (11 tahun) kelas 2 SD.

Mereka, kata Retno, tidak naik kelas secara berturut-turut, yakni pada tahun ajaran 2018/2019; lalu tahun ajaran 2019/2020; dan tahun ajaran 2020/2021.  

Orang tua korban, lanjut dia, juga telah melakukan dialog dan mediasi dengan pihak sekolah atas permasalahan tersebut, namun selalu menemui jalur buntu.

Alhasil, mereka melakukan perlawanan ke jalur hukum. Orang tua korban selalu menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun pihak sekolah selalu punya cara setiap tahun untuk tidak menaikkan ketiga anak tersebut dengan alasan yang berbeda-beda.

Baca Juga: Anaknya Trauma, Kartika Damayanti Laporkan Orang Tua Ayu Ting Ting ke KPAI

Menurut Retno, pada tahun ajaran 2018-2019 misalnya, ketiga anak tersebut tidak naik kelas kali pertama karena dianggap tidak hadir tanpa alasan selama lebih dari 3 bulan. Padahal, ketiga anak tersebut tidak hadir karena dikeluarkan dari sekolah pada 15 Desember 2018.

Ketiga anak tersebut baru kembali ke sekolah setelah PTUN Samarinda menetapkan putusan sela pada 16 April 2019 hingga putusan itu berkekuatan hukum tetap. Sekolah lantas memutuskan ketiganya tidak naik kelas.

Pada 8 Agustus 2019, PTUN Samarinda membatalkan keputusan sekolah karena terbukti melanggar hak-hak anak atas pendidikan dan kebebasan melaksanakan keyakinan mereka.

PTUN Samarinda menilai tindakan sekolah mengeluarkan, menghukum, dan menganggap pelaksanaan keyakinan mereka sebagai pelanggaran hukum, tidak sejalan dengan perlindungan konstitusi atas keyakinan agama dan ibadah.

“Meski hak-hak ketiga anak atas keyakinan beragama dan pendidikan dihormati dan diteguhkan di PTUN, sehingga mereka kembali ke sekolah, namun mereka diperlakukan secara tidak adil karena tidak naik kelas untuk alasan yang tidak sah,” ungkap Retno. 

Di sisi lain, guru Pendidikan Jasmani dan Pembimbing Pendidikan Agama Kisten di sekolah itu keberatan jika ketiga kakak beradik tersebut mengikuti pelajaran agama karena adanya perbedaan akidah dan ajaran antara keyakinannya dan agama ketiga anak sebagai Kristen Saksi-Saksi Yehuwa.

Sementara pada tahun 2019-2020, ketiga siswa tersebut kembali tidak naik kelas karena tidak diberikan pelajaran agama dan tidak punya nilai agama.

Baca Juga: Tak Terima Anaknya Dianiaya Tetangga, Orangtua Melapor ke KPAI

Sejak ketiga anak kembali ke sekolah melalui putusan PTUN Samarinda, ketiga anak dibiarkan tanpa akses pada kelas pendidikan agama Kristen yang disediakan sekolah.

Padahal kata Retno, orang tua korban,AT, telah berulangkali meminta agar anak-anak diberikan pelajaran agama Kristen agar bisa naik kelas. Namun itu dipersulit dengan berbagai syarat yang tidak berdasar hukum.

“Selama tahun ajaran 2019-2020, Bapak AT terus berupaya meminta agar ketiga anaknya diberikan akses pendidikan Agama dari pihak sekolah. AT tidak pernah menolak kelas Agama Kristen tersebut, bahkan memintanya,” ujar Retno.

Menurut Retno, dalam persoalan ini, pihak sekolah telah melanggar hukum karena tidak memberikan pelajaran agama, menetapkan syarat-syarat yang tidak berdasar hukum, serta mempersoalkan keyakinan agama dari ketiga anak. 

“Sekolah bukan hanya tidak mampu memberikan pendidikan Agama dari guru yang seagama bagi ketiga anak tersebut, sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundangan, namun dengan aktif menghalangi ketiga anak mendapatkannya," tegasnya.

Pada persoalan ini, PTUN Samarinda memutuskan bahwa keputusan sekolah untuk membuat ketiga anak tidak naik kelas karena pelajaran agama adalah keputusan yang keliru, dilatarbelakangi pada tindakan diskriminatif.

Sementara pada tinggal kelas ketiga (2020/2021), pihak sekolah beralasan nilai agama ketiga anak tersebut rendah.

Meski ketiga siswa tersebut telah diberikan pelajaran agama (karena permohonan orang tua), namun mereka tetap diberikan nilai agama yang rendah sehingga tidak naik kelas.

Baca Juga: Apa Kabar Kesehatan Mental Anak-anak Indonesia?

Bahkan kata Retno, ketiga anak dipaksa menyanyikan lagu rohani, meskipun sang guru tahu bahwa itu tidak sesuai dengan akidah dan keyakinan agamanya. Karena tidak dapat melakukannya, ketiga anak diberi nilai rendah dan tidak naik kelas lagi.

Akibat pesoalan tersebut, Retno mengatakan, secara psikologis, M, Y, dan YT sudah sangat terpukul, mulai kehilangan semangat belajar, merasa malu dengan teman-teman sebaya karena sudah tertinggal kelas selama 3 tahun berturut-turur karena perlakuan diskriminatif yang mereka terima.  

“Ketiga anak sudah menyatakan dalam zoom meeting dengan KPAI dan Itjen KemendikbudRistek, bahwa mereka tidak mau melanjutkan sekolah jika mereka tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya,” jelas Retno.

Atas dasar dugaan pelanggaran-pelanggaran tersebut, Retno menyebut Itjen KemendikbudRistek bersama KPAI akan melakukan pemantauan langsung ke Tarakan pada 22-26 November 2021.

Tim pemantau akan bertemu dengan sejumlah pihak, mulai dari orang tua pengadu dan anak-anaknya, pihak sekolah, Dinas Pendidikan Kota Tarakan, Inspektorat Kota Tarakan dan LPMP Kalimantan Utara. 

“Itjen KemendikbudRistek juga sudah mengajukan permohonan kepada Walikota Tarakan untuk difasilitasi rapat koordinasi sekaligus FGD dengan seluruh intansi terkait di Kantor Walikota, termasuk Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melakukan rehabilitasi psikologis terhadap ke-3 anak korban,” ujarnya.

Penulis : Isnaya Helmi Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU