> >

4 Poin Penting dan Rekomendasi MUI dalam Ijtima Soal Pinjol

Update | 20 November 2021, 16:15 WIB
Ilustrasi layanan pinjaman online (pinjol). MUI telah mengeluarkan ijtima atau kesepakatan terkait hukum dan rekomendasi dalam melakukan pinjaman online atau pinjol(Sumber: SHUTTERSTOCK/SMSHOOT)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan ijtima atau kesepakatan terkait hukum dan rekomendasi dalam melakukan pinjaman online atau pinjol.

Sebelumnya, pada 9-11 November 2021, MUI telah menggelar sebuah pertemuan yang dihadri oleh para ulama dalam komisi fatwa se-Indonesia dengan pembahasan pinjol sebagai salah satu agendanya.

"Dalam ijtima ini dibahas beberapa hal terkait hukum dan rekomendasi masalah-masalah terkini, salah satunya mengenai pinjaman online (pinjol)," tulis MUI dalam keterangan unggahan terbarunya di akun Instagram @muipusat, Jumat (19/11/2021).

Adapun, dari ijtima tersebut, dapat diketahui bahwa MUI memiliki empat poin penting terkait hukum pinjol bserta rekomendasinya.

Baca Juga: Presiden Digugat Korban Pinjol, Faldo Maldini: Pemerintah Terus Berantas Pinjol Ilegal

Ketentuan Hukum Pinjol dalam Ijtima MUI

  1. Pada dasarnya, perbuatan pinjam-meminjam atau utang-piutang merupakan bentuk akad tabarru' (kebajikan) atas dasar saling tolong-menolong yang dianjurkan, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
  2. Sengaja menunda pembayaran utang bagi yang mempu hukumnya haram
  3. Memberikan ancaman fisik atau membuka rahasia (aib) seseorang yang tidak mampu membayar utang adalah haram. Adapun memberikan penundaan atau keringanan dalam pembayaran utang bagi yang kesulitan merupakan perbuatan yang sianjurkan (mustahab)
  4. Layanan pinjaman baik offline maupun online yang mengandung riba hukumnya haram, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan

Rekomendasi MUI untuk Pinjol

  • Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Polri, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hendaknya terus meningkatkan perlindungan kepada masyarakat dan melakukan pengawasan serta menindak tegas penyalahgunaan pinjaman online atau financial technology  peer to peer lending (fintech lending) yang meresahkan masyarakat
  • Pihak penyelenggara pinjol hendaknya menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam semu transaksi yang dilakukan 
  • Umat Islam hendaknya memilih jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah

Baca Juga: MUI Tegaskan Fatwa Haram Pinjaman Online Berlaku untuk Pinjol Legal dan Ilegal, Kenapa?

Semantara itu, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah Cholil Nafis pun memberikan penjelasannya mengenai masalah riba yang disinggung dalam hasil ijtima'MUI.

"Jadi, yang memenuhi syarat riba itu ada dua. Ada riba fadhl, ada riba nasiah," jelas Cholil seperti dikutip dari Kompas.com, Sabtu (20/11).

"Riba fadhl itu dalam bentuk yang sama, kemudian ditukar dengan jumlah yang lebih besar. Uang Rp100.000, umpamanya, ditukar dengan Rp90.000, Rp5.000," imbuhnya.

Namun, menurut Cholil, riba fadhl itu termasuk yang jarang ditemukan dalam praktik pinjol. Sebaliknya, riba jenis nasiah-lah yang lebih sering ditemukan dalam pinjol.

"Riba yang terjadi secara online biasanya adalah riba nasiah. Bertambahnya uang, utang, karena bertambahnya waktu, itu adalah riba nasiah," terangnya.

Baca Juga: MUI: Pinjol Mengandung Riba Haram, Meski Atas Dasar Kerelaan

Oleh sebab itu, Cholil mengatakan, pinjol yang tidak menerapkan prinsip-prinsip syariah tidak diizinkan atau diharamkan oleh MUI.

Ketentuan tersebut berlaku bagi seluruh penyelenggara jasa layanan pinjol, termasuk yang sudah tercatat di OJK.

Meski begitu, keputusan diserahkan kepada masing-masing individu apakah akan memilih pinjol atau turut mempertimbangkan aspek haram atau halalnya secara agama.

"Soal pinjaman yang sesuai syariah dan yang konvensional di dalam UU kita, masyarakat dapat memilihnya," tandas Cholil.

Penulis : Aryo Sumbogo Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU