> >

Komisi X DPR Dorong Upaya Revisi dan Sosialisasi Permendikbud 30 PPKS

Peristiwa | 12 November 2021, 15:25 WIB
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menilai perlu adanya upaya revisi dan sosialisasi yang meluas soal Permendikbud 30 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. (Sumber: Tangkapan Layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menilai perlu adanya upaya revisi dan sosialisasi yang meluas soal Permendikbud 30 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS).

Pernyataan itu disampaikan Hetifah menanggapi pro dan kontra yang terjadi akibat dari diksi "tanpa persetujuan korban" yang dinilai melegalkan zina hingga dianggap tidak sesuai dengan nilai Pancasila dan norma agama.

"Perlu upaya revisi dan sosialisasi yang meluas, mendalam, dan intens. Karena kalau tidak, jangan-jangan perguruan tinggi tidak melaksanakan apa yang direncanakan," kata Hetifah dalam program dialog Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Jumat (12/11/2021).

Adapun sosialisasi yang bisa dilakukan, Hetifah menyebut, melalui diskusi publik dengan beragam kelompok. Dalam hal ini, diskusi untuk menyampaikan pemahaman yang dalam dan intens tidak hanya dilakukan di kalangan perempuan dan aktivis.

Baca Juga: Respons Pro Kontra Permendikbud 30, Komisi X DPR Ingatkan Tidak Khawatir Berlebihan

Melalui Permendikbud 30 yang sudah diterbitkan, politikus Partai Golkar ini juga menyatakan bahwa Komisi X DPR RI mendorong adanya hukuman ganda bagi pelaku kekerasan seksual.

Pasalnya, realita di lapangan, kekerasan seksual terutama di kampus cenderung ditutup-tutupi demi nama baik. Bahkan, korban mendapat kriminalisasi dan menjadi korban relasi kuasa dengan mendapat ancaman akan dilaporkan balik.

"Kita ingin ada hukuman ganda, jika ada seseorang yang dia melakukan kekerasan seksual sekaligus tindakan asusila jadi dia hukumannya bisa dua kali. Dari kampus dia dapat sanksi, tapi dia diperberat karena dia pelaku asusila tapi dia juga pelaku kekerasan seksual," paparnya.

"Karena memang selama ini informasi ini seperti puncak gunung es, jadi tidak terungkap kalau pun ada satu dua ya, ternyata kampus cenderung menutup-nutupi karena ini demi nama baik mereka juga," sambungnya.

Baca Juga: Respons Pro Kontra Permendikbud 30, Komisi X DPR Ingatkan Tidak Khawatir Berlebihan

 

Sebelumnya, muncul pro-kontra soal Permendikbud 30 tahun 2021. Sebagian kalangan menyebut bahwa aturan itu berpotensi melegalkan zina atau tindak asusila.

Salah satu kritik dilontarkan oleh Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang menilai beleid tersebut cacat secara formil.

Hal itu karena prosesnya tidak melibatkan banyak pihak dan cacat materil karena berpotensi melegalkan zina.

Menurut Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad, salah satu kecacatan materil ada di Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa 'tanpa persetujuan korban'.

“Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Lincolin, melalui keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).

Baca Juga: Dukung Permendikbud PPKS, Berikut 5 Sikap Jaringan Gusdurian Terkat Kekerasan di Lingkungan Kampus

 

Sementara itu, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia VII merespons Permendikbud 30 dengan meminta kepada Pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi/merevisi.

Ijtima' Ulama mendorong Permendikbud 30 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dapat mematuhi prosedur pembentukan peraturan sebagaimana ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.

Selain itu, materi muatannya wajib sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Penulis : Nurul Fitriana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU