Ironi Penolakan Aturan Pencegahan Kekerasan Seksual dan Banyaknya Korban Takut Melapor
Hukum | 8 November 2021, 17:27 WIBSOLO, KOMPAS.TV - Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di universitas mendapat penolakan dari beberapa pihak. Penolakan ini menjadi ironi saat mayoritas dosen mengaku ada kekerasan seksual di kampus.
Penolakan ini juga muncul berdekatan dengan viralnya kasus dugaan pelecehan seksual oleh Dekan FISIP Universitas Riau Syafri Harto saat bimbingan skripsi.
Tak hanya itu, Komnas Perempuan mencatat ada 27 persen aduan kekerasan seksual di perguruan tinggi selama 2015-2020.
Baca Juga: Aturan Kekerasan Seksual di Universitas: Dilarang Merayu, Sanksi Pemecatan, Penurunan Akreditasi
Sementara, survei Ditjen Diktiristek pada 2020 mencatat 77 persen dosen mengaku ada kekerasan seksual di kampus dan 63 persen korban tidak melaporkan kasusnya pada pihak pengelola universitas.
“Lemahnya penanganan kasus di kampus karena pelakunya adalah orang terdekat di lingkungan kampus seperti dosen, mahasiswa ataupun karyawan kampus sehingga turut menyebabkan keengganan korban untuk melapor,” tulis pernyataan Komnas Perempuan yang dikutip pada Senin Senin (8/11/2021).
Menurut Komnas Perempuan, penanganan kasus kekerasan seksual yang buruk di kampus membuat korban kesulitan mendapat akses pemulihan psikologi.
Sebab itu, Komnas Perempuan meminta Kemendikbud Ristek untuk mensosialisasikan peraturan ini lebih luas.
“(Merekomendasikan) Perguruan Tinggi agar mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan Permen PPKS ini dengan mengikuti langkah-langkah yang sudah diatur oleh Permendikbud PPKS,” kata pihak Komnas Perempuan.
Akan tetapi, aturan ini malah mendapat penolakan dari beberapa pihak, salah satunya Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Muhammadiyah menilai ada masalah formil dan materiil yang salah satunya terkait dugaan pelegalan seks bebas.
Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah Prof Lincolin Arsyad menyebut, ada pelegalan seks bebas di pasal 5 ayat 2 Permendikbud Ristek 30/2021.
Baca Juga: Seorang Pemuka Agama di Tangerang Terseret Kasus Pelecehan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur
“Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam pasal 5 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” ujar Lincolin pada Senin, dikutip dari ANTARA.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM itu juga menyoroti pelanggaran otonomi kampus dan hukuman berat bagi universitas yang tidak patuh aturan.
“Pertama, aturan itu mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang- undang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional. Kedua, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi,” papar Lincolin.
Lalu, Lincoln juga menilai pembuatan Permendikbud Ristek 30/2021 tidak memenuhi asas keterbukaan.
Ia meminta pula agar Kemendikbud Ristek di masa depan membuat aturan yang lebih mengakomodasi suara masyarakat dan merevisi Permendikbud Ristek 30/2021.
“Kemendikbudristek dalam merumuskan kebijakan dan peraturan berdasarkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” katanya.
Baca Juga: BEM UNRI Minta Mahasiswa Dilibatkan dalam Pengusutan Kasus Dugaan Pelecehan Seksual
Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV/Antara